Rabu, 22 Februari 2017

Observasi di TK Al Hidayah 79

OBSERVASI DI TK AL HIDAYAH 79
Tanggal: 15 Desember 2017
Waktu : Selama proses belajar mengajar
Tempat: TK Al Hidayah 79, Sumberejo Ambulu Jember

Sekolah ini letaknya sangat strategis, yakni di sudut perempatan di Jalan Raya Watu Ulo desa Sumberejo kecamatan Ambulu kabupaten Jember. Tepatnya di ujung selatan dusun Krajan Lor desa Sumberejo. Bangunannya terletak dalam lingkungan yang sama dengan Masjid Al Islah Sumberejo.
Jadwal masuk sekolah tersebut adalah 6 hari dalam seminggu, yakni hariSenin sampai dengan hari Sabtu.Seragam untuk hari Senin dan Selasa adalah pakaian yang disebut Hijau-Putih, Rabu dan Kamis adalah kaos olahraga, sedangkan hari Jum’at dan Sabtu adalah pakaian Muslim dalam arti serba panjang dan bagi yang putri berkerudung.Tanggal 15 Desember bertepatan pada hari Kamis, sehingga, saat observasi dilakukan bertepatan ketika siswa mengenakan seragam kaos olahraga. Sebenarnya peraturan mengenakan seragam tersebut tidak hanya dikhususkan bagi siswa saja. Melainkan untuk guru pula. Hal ini dimaksudkan agar siswa mencontoh dari apa yang dilakukan guru kemudian menjadikan hal tersebut sebagai kebiasaan yang dapat dipegang sendiri oleh siswa.

Kajian Psikologi:
Seperti dalam sejarah Psi. Sosial, Gabriel Tarde yang menganggap bahwa “Seluruh kehidupan social sebenarnya berdasarkan factor imitasi saja”. Adanya proses imitasi dalam interaksi social antara guru dan siswa sekolah tersebut, juga menimbulkan adanya “Habit” atau kebiasaan.

Jam belajar mengajar di sekolah ini dimulai dari pukul 07.15 WIB. Ketika observer tiba di sekolah pada pukul 07.00 WIB, suasana sekolah masih lengang. Hanya ada 2 guru dan beberapa siswa yang ditunggu oleh orangtuanya. Tepat pukul 07.15 WIB kegiatan belajar mengajar dimulai. Namun, masih ada beberapa siswa yang belum masuk ke kelas atau bahkan masuk ke kelas lain.
               Sejak masuk pertama kali, siswa diajak oleh gurunya untuk Berdoa, yakni do’a akan belajar. Kemudian membaca Pancasila, Rukun Islam, dan Rukun Iman. Ketika membaca Rukun Islam, siswa lebih giat dari pada Rukun Iman. Mungkin hal ini dikarenakan jumlah Rukun Islam lebih sedikit daripada Rukun Iman.

               Kajian Psikologi:
               Pada taraf normalnya, kekuatan otak dalam mengingat adalah 72 per hari. Jadi normalnya seseorang mengingat suatu hal dalam sehari adalah paling sedikitnya 5 dan paling banyaknya 9 hal.

               Setelah itu, siswa juga diajarkan dalam menyebutkan nama-nama hari dalam seminggu, mulai dari Senin sampai dengan Minggu. Mereka juga menyebutkan nama-nama bulan dalam setahun. Setelah itu, untuk membuang kejenuhan, siswa diajak menyanyi. Setiap kali mengajak siswanya, guru juga selalu melakukan hal yang sama dengan siswanya. Sehingga siswanya mengikuti semangat dari gurunya.

               Kajian Psikologi:
               Dalam hal ini seperti yang sudah disebutkan dalam kajian teori yang awal, bahwa hal ini untuk membentuk kebiasaan siswa dengan proses imitasi yang merupakan salah satu factor dalam mencapai interaksi social.
               Selain itu, hal ini dapat dikaji dari teori perkembangan Piaget. Usia sekolah TK termasuk dalam periode praoperasional. Dimana pada periode ini anak dapatmelakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu, model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.

               Seusai bernyanyi, guru kembali mengajak siswanya membaca Asmaul Khusna. Setelah membaca Asmaul khusna, mereka diajak membaca Sholawat Nariyah. Dalam pembacaan Sholawat Nariyah, seluruh siswa sangat giat membacakannya. Hal ini dapat terjadi karena memang sejak kecil mereka sudah dibiasakan dengan Sholawat Nariyah. Terlebih lagi, dalam lingkungan desa ini memang sudah terbiasa membacakan Sholawat tersebut sebelum melaksanakan ibadah mereka, Sholat 5 waktu. Sehingga, hal ini mendorong siswa dalam mengingat Sholawat tersebut. Karena seluruh siswa sangat giat membacakannya, guru memberikan reward dengan menunjukkan jempolnya untuk seluruh siswa. Setelah itu, siswa masih diajarkan membaca surat-surat pendek.

               Kajian Psikologi:
               Sesuai dengan teori behaviourisme, dalam dinamika kepribadiannya, tingkah laku dibentuk oleh beberapa pola. Pola yang membentuk tingkah laku disebut “Consequence of Behaviour” yang dapat berbentuk:
Ø  Reinforcement
Ø  Punishment
               Bentuk pemberian jempol dari guru tersebut merupakan reinforcement dari guru tersebut kepada siswanya. Dimana dengan diberikan penguatan berupa jempol tersebut, diharapkan siswa termotivasi untuk meningkatkan semangat dalam belajar (membacakan sesuatu, mengangkat tangan ketika ada pertanyaan dari guru, dll).
               Siswa masih berada di kelas tersebut selama tidak lebih dari setengah jam. Akan tetapi, observer mengamati mereka sudah sulit dikondisikan. Maksudnya, beberapa dari mereka sudah ada yang berjalan-jalan, menaiki meja atau kursinya, sulit untuk diam. Ada juga yang berbicara sendiri dengan teman sebangkunya.

               Kajian Psikologi:
               Dalam masa perkembangannya, siswa sekolah Taman Kanak-Kanak yang masih memasuki usia awal kanak-kanak memiliki beberapa keterampilan. Salah satu keterampilan tersebut, keterampilan kaki. Dimana pada usia lima tau enam tahun ia belajar melompat dan berlari. Mereka juga sudah dapat memanjat.

               Siswa yang masih dalam fase kanak-kanak, sudah sewajarnya mengalami kemajuan dalam berbicara. Hal itu bukanlah kesalahan ketika mereka banyak berbicara. Karena berbicara merupakan sarana pokok dalam bersosialisasi. Selain itu berbicara juga merupakan sarana untuk memperoleh kemandirian. Hal ini telah dikemukakan Hurlock dalam bukunya ‘Psikologi Perkembangan’.

Cerita Pendek "Seberkas Rindu yang Terabai"

Seberkas Rindu Yang Terabai
            Aku melihatnya siang ini. Kibaran rambutnya tertiup angin nakal yang menyembulnya. Sayang, pemiliknya enggan mengekspose kecantikan alaminya. Dia juga menghentikan pendidikannya sejak ia kehilangan orang tuanya. Hei, lihatlah aku, bukankah ini terdengar seperti aku selalu menguntitnya karena mengetahui tentangnya? Begitu bukan?
            Ya, aku memang sudah cukup lama mengagumi sosok ini. Entahlah sejak kapan dan karena apa, aku tidak begitu mengingatnya. Tapi kini, aku yakin akan dentuman jantung yang tak beraturan ini saat melihat gadis pemilik mata sayu itu. Mata yang tampak sayu namun di dalamnya menyimpan penuh makna. Bukan makna yang bisa diartikan sekedar saja. Namun arti yang lebih dari semua itu, lebih dari apa yang dapat orang lihat. Makna yang bahkan tak kasat mata. Aku… sangat tinggi menyematkan kekaguman ini padanya.
            Sudah sejam lebih aku terduduk disini, dengan segelas latte yang menemaniku sejak kutancapkan pantatku di kursi anyam ini. Dari tempat inilah aku dengan leluasa memperhatikannya. Gerak itu…. Diam itu… senyum itu… aku sangat menyukai segala tentangnya. Bahkan murungnyapun aku selalu mengabadikannya. Namun, tak pernah ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya, atas diamnya dan bahasa tubuh yang tenang itu.
            Dia seorang barista di café yang sering kusinggahi ini. Hh, bahkan aku lupa bahwa aku belum menceritakannya sejak tadi bukan? Aku hampir saja terlupa hanya karena terlalu hanyut pada perasaan ini. Di ruang bernuansa coklat ini, aku bukan hanya diam meski hanya duduk tak bersuara. Tanganku masih dengan asyik meliuk-liukkan pensil untuk menyelesaikan sketch yang selalu kubuat setiap kali datang. Terkadang aku menitipkan hasil karyaku untuknya. Setidaknya agar dia tahu kecenderunganku padanya. Namun dia bukan orang yang peduli akan hal itu. Kupikir, dia bukan orang yang akan respect pada rasa yang mungkin dinilainya abal-abal ini. Yah, aku cukup mengerti itu, pun menghargai itu.
            Tempo hari, seorang pelayan yang selalu kutitipi lukisan untuk kuserahkan padanya, menanyakan padaku mengenai kesungguhanku. “ah, semestinya kau tahu sebanyak apa kekuranganku dan sebaik apa dia. Aku hanya seorang pemuja rahasia, baginya.” Begitulah aku menjawabnya. Dia hanya tersenyum lantas kembali bekerja setelah menyajikan segelas latte untukku.
            Entahlah, rasa yang dititipkan Tuhan untukku telah terlalu lama kupelihara. Sehingga aku berlarut-larut dalam diam yang tak berkesudahan. Aku bukan naïf dengan terus memendam perasaan ini sendiri. Hanya saja, aku ingin menjaga i’tiqad dari perasaan ini. Ingin rasanya kudatangi rumahnya dan menyampaikan salam resmiku untuk kedua orang tuanya. Hanya saja, bukankah sudah kukatakan bahwa ia telah tak beribu dan berayah. Dia seorang diri bertahan untuk menyambung hidupnya. Tanpa ia tahu, ia juga telah menyelamatkan hidupku yang harus menyematkan perasaan itu untuknya. Entah, aku belum cukup tahu tentang apa yang ia ingin gapai di dunia ini. Karena tak ada alasan yang logis baginya untukku mengenalnya lebih jauh. Apalagi dia bukan sembarang orang yang bisa dengan mudah didekati. Bagiku dia barang suci yang hanya boleh disentuh ketika ada kehalalan yang mengiringi nantinya. Aku masih memimpikannya. ‘jiwa yang tak pernah lupa kurindu, tunggu aku menyetarakan diri denganmu.’ batinku yang masih menggerutu dalam hati.
            Kerap kali kudengar tetanggaku yang berada di desa menasehati anaknya, “nanti cari istri yang berhijab. Agar terjaga aurat dan fitrahnya.” Setidaknya aku sering kali mendengarnya. Namun, jika kutelisik ulang, apakah hijab menjadi tolak ukur keimanan seseorang? Bahkan diera yang serba modern ini, banyak sekali ditemui wanita berhijab hanya untuk mengikuti trend mode atau bahkan mendekati zina dengan mengabaikan hijabnya itu. Kupikir, masih banyak lagi hal yang perlu direnungkan tentang perkataan tetanggaku itu. Setelah kurenungkan itulah, kurasa hijab bukanlah tolak ukur untuk fitrahnya seseorang.
            Aku kembali mendatanginya setiap kali pulang dari jam kerjaku. Singgah sejenak untuk melepas lelah dan menyandarkan penat selama bekerja seharian penuh. Melihat teduh wajahnya sesekali mengingatkanku pada mendiang adik kecilku yang telah tujuh tahun ini dalam rengkuhan sang Maha Pencipta. Ah, gadis itu semakin membawaku pada kekaguman yang tak berujung saja. Membuatku menyadari bagaimana indahnya Tuhan mengukir paras itu. Aku tersentak begitu dering ponselku menyapa. Sebuah pesan singkat yang tiba-tiba singgah.


(Ibu)
“Ibu tuamu yang ringkih ini, merindukanmu, nak. Bisakah kau hampiri sejenak? Siapa tahu mungkin ini yang terakhir kalinya ibu tuamu ini merepotkan putra semata wayangnya.”



            Membaca pesan dari satu-satunya orang tuaku itu membuat ekspresi mukaku berubah total. Seberkas kekaguman yang sedetik lalu tersemat dalam raut wajahku ini, kini telah menghilang bak terhempas ombak. Berganti gurat kekhawatiran yang tiada dapat kulukiskan saat ini. Setidaknya hanya akulah putranya mungkin bisa membanggakannya untuk melanjutkan perjuangan mendiang ayahku yang telah sebelas tahun lalu dipanggil oleh-nya. Ibu sangat menginginkan aku menjadi seorang pelukis terkenal seperti halnya masa mudanya dulu yang telah terenggut nasib karena harus menikah muda dan tak bisa sekolah dibidang seni. Namun kini, aku harus pulang ke tempat dimana aku dilahirkan. Tempat dimana aku menggunakan air dan tanahnya untuk kehidupanku. Ya, aku harus segera menghadap ibu yang sangat ingin melihatku tersenyum.
            ‘Dan… gadis itu… aku harus meninggalkannya…’ batinku kecewa.
            Perjalanan yang cukup melelahkan dari jakarta menuju kampung halamanku tercinta ini. Aku langsung melesat menuju tempat tinggal ibuku dari bandara ‘Ngurah Rai’ Ini. Kesunyian di rumah sudah tercium bahkan sejak aku memasuki pendopo di depan rumah ini. Apa yang sedang terjadi? Dimana celoteh para keponakan-keponakanku yang selalu meramaikan istana tua yang selalu meneduhkan ini?
            Karena rasa penasaranku, aku segera memasuki rumah berdinding kuning gading itu dengan pintunya yang telah terbuka. Kudapati kedua kakak perempuanku telah beserta suami mereka yang duduk di sebelah ranjang yang disana telah terrebahkan tubuh tua wanita yang paling kucintai di dunia ini. Tubuh tua ibu telah lemah terbaring disana. Matanya menatap sayu padaku sembari mengalirkan sinar bening. Aku tak sampai hati memandangnya. Ibu, andai aku selalu disampingmu. Sejak kini, aku tak akan meninggalkanmu lagi. Janjiku dalam hati.
            Setelah melihat kondisi ibu, aku tak mungkin meninggalkannya. Namun, tanpa kusengaja bayangan gadis bermata sayu yang telah sekian lama singgah dan menyapa kebekuan hatiku, tak terasa tiba-tiba terlintas. Aku tersadar dari lamunanku. Aku tahu, ini keserakahanku. Aku harus bisa memilih diantara dua wanita yang sangat kucintai di dunia ini. Aku berpikir sejenak, tak kusangka sudah enam bulan aku tinggal di samping ibu, menemaninya, mewujudkan apa yang ia inginkan. Masih pantaskah aku berharap untuk dapat kembali ke jakarta untuk menemui sosok yang telah lama ini mengusik ketenangan hatiku. Jauh dalam hati harus kuakui bahwa aku merindukannya. Kulihat kembali album gambar hasil tanganku pribadi. Kubuka lembar demi lembar, tanpa kusadari semua gambar disana adalah dia. Ya, raut yang selalu menjebakku dalam pesonanya. ‘masih bisakah aku bertemu dengannya? Bisakah aku merengkuh indahnya?’. Dalam hati kecilku masih mengharap akan hadirnya sosok yang meneduhkan itu dalam hidupku. Aku hanya dapat berandai tak berkesudahan selama hariku tanpanya.
            2 tahun kemudian…
            Kumasuki bangunan yang sudah kutinggalkan empat semester lalu. Berharap mutiara yang ada di dalamnya masih dapat kugapai. Ya, gadis itu, yang selalu memenjaraku dalam kekaguman padanya. Namun aku cukup tahu bahwa tak semua yang kita inginkan selalu terjadi sesuai dengan kenyataannya. Kusadari itu sejak mendengar ucapan dari pelayan café ini yang selalu membantuku menyerahkan sketchku padanya, “mungkin dia sedang indah memandang seluruh hasil yang selalu anda berikan padanya. Mari kuantar.” Ujarnya seraya mengajakku menuju tempat yang damai. Ya, disinilah gadis manis yang mampu mengisi hatiku saat ini. Sebelum pelayan itu meninggalkanku bersama gadis ini, tak lupa ia memberiku sepucuk surat. Setelah itu kusampaikan terima kasihku padanya.
            Aku bersamanya saat ini, bersama nisan yang menjadi penanda keberadaan terakhirnya di dunia ini. Sudah sejak setahun lalu dia mendiami tempat ini. Kuusap nisan itu berkali-kali seakan-akan aku dapat membelainya. Andai saja dapat kulakukan itu sejak dulu. Penyesalan ini akan menjadi penyesalan yang tak berujung karena telah meninggalkannya. Kharir, nama yang tertera di nisan ini, entah mengapa sangat pahit tiap kali kubaca. Mengapa aku tak bisa memanggil nama itu meski hanya sekali. Aku menyesal tiada henti. Lalu aku teringat surat itu.
“Teruntuk kau yang selalu menyapaku bersama senyap mengiringi…
            Ingin rasanya hati ini tersapa riuh rindang suaramu, namun apalah daya. Aku hanya bisa diam bersama tumor yang telah singgah dalam tubuh kecilku ini. Pun denganmu yang selalu setia mengirimiku sketch dari liukan tinta yang indah itu… terimakasih, aku begitu ingin rasanya menyampaikan secara langsung terimakasihku ini. Namun, hanya ini yang kubisa. Berharap kau bisa menerima terimakasihku meski hanya dengan selembar kertas lusuh ini.
            Maaf, aku tak bisa mengantar segelas latte yang selalu kau pesan meskipun itu sekali. Aku hanya bisa meraciknya bersama segenap rasa dalam hatiku yang tak kuketahui sejak kapan tersemat padamu. Dan lagi, Terimakasih atas karya-karyamu selama ini yang selalu membuatku bertahan. Ingin rasanya aku menunggumu kembali memandangku bahkan hingga senja datang. Aku merindukan tatapan yang selalu kau tujukan padaku itu meski aku tak dapat membalasnya meski itu hanya sekali. Sekali lagi, rasanya ingin kuucapkan terimakasihku kepadamu saat kau kembali nanti. Namun, tumor ini menginginkanku segera kembali pada-Nya.
            Sekali lagi, maaf, karena hanya torehan tinta kecil ini yang kubisa saat ini. Semoga ini dapat menyampaikan segala apa yang kurasa. Selamat tinggal.”

            Aku membacanya bersama isak yang tiada henti. Namun tiba-tiba kurasa angin bertiup kencang senja ini. Mendinginkan jiwaku yang hanya berteman sepi. Aku masih dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Tanpa kusadari, aku melihat bayangan di seberang, gadis berwajah pucat tersenyum manis di depanku seraya melambaikan tangannya. Hafna…” lirihku.

Makalah Psikologi Sosial "Lesbian di Pesantren"

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1    Latar Belakang
Menurut Kunkel (Walgito, 2002) dalam Walgito (2010:13) menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Hal ini memungkinkan adanya interaksi sosial antarindividu di dalam suatu tempat dan waktu yang bersamaan. Interaksi sosial sendiri merupakan hubungan sosial antarindividu, kelompok, ataupun individu dengan kelompok.
Interaksi sosial dapat terjadi dimana saja seseorang berada. Salah satu tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial adalah pesantren. Di dalam sebuah pesantren, selain diajarkan tentang kehidupan beragama oleh seorang kiai atau ustadz, manusia juga diajarkan berinteraksi dengan sesamanya oleh lingkungannya. Seorang individu jarang sekali menyadari bahwa sebenarnya di pesantren mereka juga diajarkan dan dibiasakan dengan proses-proses sosial, seperti kerja sama, saling menyapa, saling menghormati, perselisihan, dan pertengkaran, serta bentuk-bentuk dari sebuah interaksi sosial yang lain.
Interaksi dalam sebuah pesantren dibatasi hanya boleh dilakukan dengan sesama jenis (http://pondokpesantren.net). Peraturan itu dimaksudkan untuk mencegah adanya kontak fisik dengan kaum lain jenis. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, “Janganlah seorang lelaki dan seorang wanita berdua-duaan bersama kerana Syaitan akan hadir sebagai orang ketiga.” (hadits riwayat Ahmad). Karena itulah, adanya pesantren juga dimaksudkan sebagai tempat menjaga kefitrahan dari lawan jenis. Namun, terlepas dari maksud tersebut, ada sebagian kelompok orang yang justru salah menanggapi peraturan tersebut. Karena terlalu fanatiknya peraturan tersebut, justru memunculkan sebuah penyimpangan di dalam pesantren, yaitu lesbian. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan (https://id.wikipedia.org/wiki/Lesbian).

1. 2   Rumusan Masalah
a.       Mengapa seorang santri melakukan lesbian?
b.      Bagaimana gejala terjadinya lesbian?
c.       Bagaimana cara mengatasi lesbian di pesantren?
1. 3   Tujuan Penulisan Makalah
a.       Untuk mengetahui faktor terjadinya lesbian di pesantren.
b.      Untuk mengetahui gejala lesbian.
c.       Untuk mengetahui solusi lesbian di pesantren.










BAB II
TINJAUAN TEORI

2. 1    Pengertian Lesbian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (kbbi), lesbian adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya (http://kbbi.web.id/lesbian). Sedangkan menurut survei terbaru dari gadis remaja dan wanita muda menemukan bahwa sekitar hampir 15% perempuan muda saat ini mengidentifikasi dirinya sebagai lesbian. Hal ini tentu telah menjadi salah satu bukti adanya gejala yang menunjukkan bahwa telah banyak individu yang menyadari bahwa dirinya cenderung menyukai sesama jenisnya.











BAB III
PEMBAHASAN

3. 1          Faktor Terjadinya Lesbian di Pesantren
Sebelum mengulas lebih jauh apa faktor terjadinya lesbian di pesantren, perlu diketahui bahwa lesbian merupakan kelainan secara seksual. Namun, beberapa orang menganggapnya bukan sebagai penyakit. Lesbian, bisa saja terjadi karena konsep diri yang kurang kuat sejak dini. Salah satunya karena penolakan dari lawan jenis. Sehingga seorang individu mempersepsikan dirinya tidak menarik dan ia cenderung meluapkan kerendahan dirinya terhadap orang yang peduli kepadanya. Dalam hal ini bisa saja teman sebangku saat sekolah, teman sekamar selama di pesantren, atau teman curhatnya. Ketika ia merasa nyaman ia menganggap perhatian dari temanlah yang ia butuhkan dan ia mempersepsikan diri bahwa ia tak lagi membutuhkan seorang pria dalam hidup. Hal itu merupakan konsep diri yang ia pakai dari pengalaman pahitnya.
Pengertian konsep diri sendiri ialah semua persepsi kita terhadap aspek diri yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain (Brooks, 1971). Dari keterangan diatas, dapat diketahui bahwa salah satu faktor dari adanya lesbian tersebut adalah adanya konsep diri yang terbentuk dengan kurang baik.
Perilaku lesbian juga dapat dikaji dari teori social-learning Albert Bandura, yang dikenal teori modelingnya. Hal ini dapat terjadi karena individu melihat seseorang yang banyak menerima kasih sayang dan hidup bahagia dari seorang teman. Dengan kebahagiaan tersebut, individu tersebut akhirnya meniru kehidupan seperti itu. Hal tersebut juga bisa terjadi ketika ditempat tersebut memang sudah diwajarkan melakukan lesbian. Biasanya di sebuah pesantren tersebut memang sudah diwajarkan berhubungan dekat dengan teman. Tetapi sayangnya, kedekatan itu justru berarti sebuah rasa yang membahagiakan yang biasa disebut cinta.
Selain kedua faktor diatas, perilaku lesbian juga dapat terjadi karena adanya komunikasi yang relatif lebih sering daripada dengan teman pada umumnya. Teman selalu memberi pengaruh lebih karena dengan sering kali teman dapat memenuhi kebutuhan yang tiak bisa kita penuhi seorang diri atau bahkan dengan orang lain selain teman kita. Salah satu faktor lesbian selanjutnya, ialah adanya unsur compliance atau pemenuhan keinginan. Jika dikaji secara teori social influence, hal ini dapat terjadi karena adanya beberapa prinsip compliance. Beberapa diantaranya yang memungkinkan terjadinya lesbian adalah The principle of reciprocity (pertukaran). Pelaku lesbian biasanya tidak berniat menyukai atau bertindak spesial untuk seorang teman perempuannya. Akan tetapi hal ini dapat terjadi karena prinsip pertukaran tersebut. Seperti contoh, sebelumnya ia telah diperlakukan baik dan spesial oleh seorang teman dan ia bertempat pada keadaan yang tak mungkin menolaknya. Ketika seorang teman tersebut meminta bantuan, maka akan sulit bagi kita untuk menolaknya karena adanya prinsip pertukaran tersebut. Contoh ini dapat kita lihat dari sebuah novel yang berjudul “The Secret of Two Sun”.

3. 2          Gejala Lesbian
Untuk mengenali gejala yang terjadi pada pelaku lesbian, masih sedikit sulit. Karena selain sulit dilihat dari segi fisik, pelakunya (wanita) juga pandai menyembunyikan apa yang dirasakannya. Pada umumnya mereka masih takut pada norma yang tak mendukung perilakunya. Mereka cenderung terbuka pada sesamanya, kepada lingkungan yang bisa menerimanya. Mengapa demikian? Karena tingkat kebutuhan menurut Abraham Maslow setelah kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan itulah yang diinginkan oleh pelaku lesbian setelah fisiologisnya terpenuhi oleh sesama jenisnya.
Menurut Prof Koentjoro PhD, Guru Besar Psikologi UGM. Lesbian sangat rentan mengonsumsi narkoba. Awalnya, hanya untuk berfantasi dan mencari sensasi. Hal tersebut dilakukan agar mengundang gairah bagi para lesbian lainnya (http://noretz-area.blogspot.co.id/2010/03/ciri-ciri-lesbian-dan-gay.html). Namun, seperti yang telah disebutkan diawal, mereka cenderung menyembunyikan identitas lesbinya, sehingga mereka hanya bertindak ketika dalam situasi yang memungkinkan.
Dalam sebuah artikel dijelaskan bahwa dalam sebuah hubungan lesbi, ada yang jadi butchy (laki-laki), ada yang jadi femme (perempuannya). Untuk mengenali ciri umumnya juga dapat dikenali lewat dua sisi, yaitu sisi butchy dan femme.
Ciri wanita lesbian dengan karakter butchy (laki-laki):
a)      Tomboy
b)      Memposisikan diri sebagai maskulin
c)      Posesif dan menunjukkan ketertarikan pada wanita
d)     Cenderung menggunakan style rambut cepak
Ciri wanita lesbian dengan karakter femme (perempuan):
a)      Berpenampilan dingin
b)      Ketergantungan terhadap pasangan
c)      Cenderung kurang mandiri dan sering cemas
d)     Jaga jarak dengan wanita yang bukan pasangannya

3. 3         Solusi Lesbian di Pesantren
Selain mencari solusi untuk pelaku lesbian, pencegahan untuk mereka yang belum terjerat lesbian juga perlu. Maka, tindakan pencegahan yang efektif adalah, sebagai berikut:
a)      Membentengi diri kita dan keluarga dengan iman dan taqwa kepada Allah Ta’ala
b)      Menanamkan dalam diri, keluarga, teman, dan warga masyarakat tentang bahayanya perilaku “Lesbian” baik bagi kesehatan, psikolgis, kehidupan sosial dan lain sebagainya.
c)      Jangan terlalu dekat berhubungan dengan sesama jenis. Apalagi dalam hal asmara.
d)     Ketika menghadapi kesulitan, lebih dekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Untuk penanganan lesbian di pesantren, sebenarnya bisa lebih mudah. Karena tempat dimana pelaku lesbian tinggal, adalah tempat seseorang belajar agama, lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan penanganan lesbian paling efektif adalah dengan mendekatkan diri kepada yang Tuhan Maha Kuasa. Jika lesbian terjadi pada kaum nasrani, mereka akan lebih mudah menyembuhkan diri di gereja. Sedangkan untuk kaum muslim, yaitu pesantrenlah tempat yang terbaik.     










BAB  IV
PENUTUP

4.1                      KESIMPULAN
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi perilaku lesbian di pesantren. Adakalanya karena pengalaman di masa lampau, konsep diri yang kurang terbangun yang mengakibatkan dia melarikan diri pada dunia lesbian, juga dapat teradi karena proses modeling. Seseorang melihat lingkungannya dalam menentukan perilakunya. Selain itu juga dapat terjadi karena adanya “the principle of reciprocity” atau bisa disebut prinsip pertukaran yang merupakan salah satu prinsip dalam “compliance”. Sedangkan penanganan paling efektif untuk pelaku lesbian di pesantren adalah dengan melakukan kontak dengan Allah SWT.
4.2                      SARAN
Setelah membaca makalah ini kiranya penulis mengharapkan makalah ini dapat menjadi pedoman bagi seluruh pembaca, dan penulis menerima evaluasi, perbaikan, saran yang dapat membangun bagi penulis di kemudian hari.






Daftar Pustaka

Walgito, Bimo. 2010. Psikologi Kelompok. Yogyakarta: Andi Offset
Diakses pada 30 November 2016 dari http://pondokpesantren.net
Diakses pada 30 November 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Lesbian
Diakses pada 30 November 2016 dari http://kbbi.web.id/lesbian
Diakses pada 1 Desember 2016 dari http://fiqh-sunnah.blogspot.com
Diakses pada 3 Desember 2016 dari http://cintalia.com/kehidupan/penyebab-lgbt



Teori Kepribadian "Eksistensial" Ludwig Binswanger

BAB I
Pendahuluan

1. 1            Latar Belakang
Ilmu psikologi merupakan ilmu yang selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan keilmuan yang ada. Salah satu cabang dari ilmu psikologi yang mengalami perkembangan tersebut adalah psikologi kepribadian. Menurut Hjelle &  Ziegler dalam bukunya personality theories, ada tiga revolusi dalam perkembangan psikologi kepribadian, yaitu psikoanalisa, behaviourisme dan humanistik.
Teori yang pertama adalah psikoanalisa dengan beberapa tokohnya Sigmund Freud dengan teori Psikoanalisis Klasiknya, Erik Erikson dengan Teori Egonya, Carl Jung dengan Teori Analitiknya, Teori-teori Psikososial oleh Alfred Adler, dan beberapa teori lain yang dikemukakan Karen Horney, Erich Fromm dan Harry Stack. Hall & Lindzey (1993, h. 8) semua teori ini berpandangan bahwa sebagian besar tingkah laku manusia digerakkan oleh daya-daya psikodinamik seperti motif-motif, konflik-konflik, dan kecemasan-kecemasan. Karena semua  teoretikus dalam kelompok ini adalah psikoterapi, maka sebagaimana telah disebutkan di muka, teori teori mereka juga bercorak klinis.
Sedang perkembangan psikologi kepribadian yang selanjutnya adalah behaviourisme. Teori ini mencirikan manusia sebagai korban fleksibel, pasif dan penurut terhadap stimulus lingkungan seperti halnya teori B.F Skinner. Selain itu teori ini juga menekankan kesamaan yang esensial antara manusia dan hewan seperti yang terjadi dalam percobaan Pavlov dengan teorinya Classical Conditioning. Teori ini juga menitik beratkan pada peranan belajar sebagai ikhtisar utama untuk menerangkan tingkah laku yang dapat dilihat dalam teori Albert Bandura.


Teori Humanistik merupakan teori terakhir dari revolusi dalam perkembangan psikologi kepribadian. Salah satu tokoh dari teori ini adalah Ludwig Binswanger. Ilmuwan-ilmuwan sebelumnya dalam teori ini adalah Henry A Murray, Kurt Goldstein, Abraham Maslow, Andras Angyal, dan Carl Rogers. Teori ini mencirikan manusia sebagai manusia yang bebas bermartabat dan manusia bergerak kearah pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya bila lingkungan memungkinkan.
Pada awal tahun 1920-an, Binswanger menjadi salah seorang pelopor pertama dalam menerapkan fenomenologi pada psikiatri. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi seorang analis eksistensial (Hall & Lindzey, 1993, h. 176). Sejak itulah, Binswanger dikenal sebagai tokoh teori eksistensial. Karena teori ini masih relatif asing bagi penulis, maka penulis mengkaji ilmu ini sebagai bahan pembelajaran.

1. 2            Rumusan Masalah
1.      Apakah teori eksistensial Binswanger?
2.      Apa saja struktur eksistensi menurut Binswanger?

1. 3            Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui tentang teori eksistensial Binswanger.
2.      Untuk mengetahui struktur eksistensi menurut Binswanger.









BAB II
Pembahasan

2.1               Teori Eksistensial Binswanger
Hall & Lindzey (1993, h. 178) menyebutkan bahwa psikologi eksistensial  berkeberatan terhadap konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Maksudnya adalah tidak ada hubungan sebab akibat dalam keberadaan manusia. Seperti halnya yang terjadi dengan teori yang dikemukakan oleh Freud bahwa pribadi manusia terbentuk sesuai dengan pengalaman yang terjadi pada golden age (usia 0-5 tahun). Psikologi eksistensial jelas menentang konsep tersebut.
Pokok teori Ludwig Binswanger yaitu mengenai psikologi eksistensial (Irfan, 2015). Psikologi Eksistensial menyatakan bahwa psikologi tidak sama dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya dan tidak akan menirunya (Hall & Lindzey, 1993, h. 178). Psikologi eksistensial memiliki banyak perbedaan dengan teori- teori psikologi sebelumnya, karena psikologi eksistensial merupakan pemberontakan dari beberapa teori-teori psikologi sebelumnya. Hall & Lindzey (1993, h. 179) dalam bukunya menyebutkan bahwa erat hubungannya dengan keberatan yang pertama penolakan keras psikologi eksistensial terhadap dualisme antara subjek (jiwa) dan objek (badan, lingkungan atau benda). Pemisahan yang berasal dari Descartes inilah yang telah mengakibatkan orang yang menjelaskan pengalaman dan tingkah laku manusia dari sudut rangsangan-rangsangan lingkungan atau keadaan-keadaan badaniah. “Manusialah yang berpikir, bukan otak”(Straus, 1963).
Setelah dua penyangkalan psikologi eksistensial sebelumnya, masih ada penyangkalan dari psikologi eksistensial selanjutnya. Hall & Lindzey (1993, h. 179) menyebutkan bahwa psikologi eksistensial juga menyangkal bahwa ada sesuatu dibalik gejala-gejala yang menjelaskan atau menyebabkan munculnya gejala-gejala tersebut. Penjelasan tentang eksistensi manusia dengan menggunakan konsep-konsep seperti diri, suatu energi psikis atau fisik yang tak sadar, atau kekuatan- kekuatan lain seperti insting, gelombang otak, dorongan otak dan arkhetipe juga dikesampingkan.
Membahas tentang psikologi eksistensial tentu erat kaitannya dengan istilah fenomenologi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fenomenologi adalah  ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu filsafat atau bagian dari filsafat. Al Barry M.D. (1994) menyebutkan bahwa fenomenologi adalah manusia yang tahu dan mengalami. Singkat kata, fenomenologi adalah manusia mengetahui segala hal dengan sadar, karena telah mengalaminya sendiri. Pengetahuan manusia berasal dari pengalaman.
Fenomenologi, sebagaimana terdapat dalam karya para psikolog, Gestalt dan Erwin Straus, pertama-tama telah dipakai untuk meneliti gejala-gejala dari proses-proses psikologis seperti persepsi, belajar, ingatan, pikiran dan perasaan tetapi tidak digunakan untuk meneliti kepribadian. Sebaiknya, psikologi eksistensial, telah menggunakan fenomenologi untuk menjelaskan gejala-gejala yang kerap kali dipakai dipandang sebagai wilayah bidang kepribadian. Psikologi eksistensial dapat dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusiayang menggunakan metode analisis fenomenologis.(Hall & Lindzey, 1993, h. 174)

2.2               Struktur Eksistensi Binswanger
Ø   Ada-di-Dunia
Hall & Lindzey (1993, h. 181) menyebutkan bahwa Ada-di-Dunia, atau Dasein, adalah eksistensi manusia. Dasein bukanlah milik atau sifat seseorang, bukan bagian dari ada manusia seperti ego pada Freud atau anima pada Jung; melainkan keseluruhan eksistensi manusia. Konsep ini dalam bahasa inggris disebut “being – in – the – world”.




Ø   Ada-melampaui-dunia (Kemungkinan-kemungkinan dalam Manusia)
Analisis eksistensial mendekati eksistensi manusia dengan tidak memakai pandangan lain selain bahwa manusia ada di dunia, memiliki dunia, ingin melampaui dunia (Binswanger). Dengan menggunakan istlah ada-melampaui-dunia, Binswanger tidak mengartikan dunia lain (surga) melainkan mau mengungkapkan begitu banyak kemungkinan yang dimiliki manusia mengatasi dunia yang disinggahinya dan memasuki dunia baru. (Hall & Lindzey, 1993, h. 185-186).

Ø   Dasar Eksistensi
Hidup di dunia ini manusia memiliki kebebasan untuk memilih berbagai kemungkinan. Meskipun demikian, bukan berarti manusia tidak memiliki batasan. Menurut Hall & Lindzey (1993, h. 187) salah satu batas adalah dasar eksistensi kemana orang-orang “dilemparkan”. Kondisi “keterlemparan” ini, yakni cara manusia menemukan dirinya dalam dunia yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya.
“Semakin orang berkeraskepala terhadap eksistensinya… maka semakin kuat pula pengaruh keterlemparan itu” (Binswanger, 1958c, hlm 340). Meskipun keterlemparan dan batas tersebut bersifat membatasi, namun masih ada banyak kemungkinan untuk memilih. (Hall & Lindzey, 1993, h. 188). Sehingga dengan kemungkinan-kemungkinan itu manusia dapat menjalani kehidupan autentik di dunia ini.

Ø   Rancangan-Dunia
Hall & Lindzey (1993, h. 188) menjelaskan bahwa rancangan-dunia adalah istilah yang digunakan Binswanger untuk menyebut pola yang meliputi cara ada-di-dunia seorang individu. Rancangan dunia seseorang menentukan cara bagaimana ia akan bereaksi terhadap situasi-situasi khusus serta ciri sifat dan simtom macam mana yang akan dikembangkannya. Rancangan-dunia tertanam atau membekas pada segala sesuatu yang dilakukan individu. Batas-batas dari rancangan tersebut mungkin sempit dan mengerut atau mungkin lebar dan meluas.

Ø   Cara-cara Ada-di-Dunia
Untuk ada-di-dunia manusia memiliki banyak cara yang berbeda, dan cara tersebut merupakan cara Dasein memahami, menginterpretasikan dan mengungkapkan dirinya. Dalam Hall & Lindzey (1993, h. 190), Binswanger, misalnya, berbicara tentang dwirangkap yang dicapai oleh dua insan yang saling jatuh cinta. “Saya” dan “Kamu” menjadi “Kita”.
“Tugas ilmu pengetahuan tentang manusia (para eksistensialis menyebut ilmu ini, antropologi) ialah memahami seluruh pengalaman manusia tentang dirinya sendiri dalam semua cara eksistensinya” (Binswanger, 1963, hlm. 173)

Ø   Eksistensial
Berbicara cara-cara ada-di-dunia ada beberapa perbedaan antara Binswanger dan Boss. Karena Boss lebih suka berbicara tentang  sifat-sifat yang melekat dalam setiap eksistensi manusia yang sifat-sifat ini disebut Eksistensial. Sifat-sifat yang melekat pada manusia diantaranya:
·      Spasialitas Eksistensi
Menurut Hall & Lindzey (1993, h. 191), Keterbukaan dan kejelasan merupakan sifat spasialitas yang sejati dalam dunia manusia.
·      Temporalitas Eksistensi
Hall & Lindzey (1993, h. 191) menyebutkan bahwa temporalitas bukan membicarakan waktu menurut jam atau penanggalan. Temporalitas juga bukan serangkaian titik sekarang yang tanpa akhir seperti dalam fisika. Menurut Al Barry (1994, h. 744), temporalitas adalah kesementaraan. Dimana dalam kesementaraan itu manusia dapat digunakan oleh sebagian manusia untuk apa yang dikehendakinya.
·      Badan
Badan didefinisikan sebagai ruang lingkup badaniah dalam pemenuhan eksistensi manusia. Badan tidak terbatas pada apa yang ada dikulit; tetapi meluas sepanjang hubungan individu dengan dunia. (Hall & Lindzey, 1993, h. 191).
·      Eksistensi manusia di dunia sebagai milik bersama
Hall & Lindzey (1993) dalam Irfan(2015) menyebutkan bahwa Psikologi eksistensial kadan-kadang dituduh bersifat solipsistik, yakni memandang setiap individu hidup tertutup dalam dunia pribadinya sendiri tidak tahu-menahu tentang dunia tempat orang lain hidup. Eksistensi manusia tidak pernah bersifat pribadi, kecuali dalam kondisi patologis tertentu. Eksistensi manusia selalu merupakan berbagai dunia satu sama lain.
·      Suasana hati atau penyesuaian (Attunement)
Cara manusia tinggal di dunia selalu disesuaikan dengan salah satu suasana hati. Suasana-suasana hati itu sendiri adalah eksistensial- eksistensial, potensi- potensi yang melekat dalam setiap eksistensi manusia. (Hall & Lindzey, 1993, h. 192).

2.3              Dinamika dan Perkembangan Eksistensi
2.3.1             Dinamika
Hall & Lindzey (1993) dalam Irfan (2015) Psikologi eksistensial menolak konsep mengenai kausalitas, yaitu dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan individu dari lingkungannya. Psikologi eksistensial mengkonsepsikan tingkah laku sebagai kebebasan yang dimiliki oleh tiap individu untuk memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Bukan sebagai makhluk yang terdiri dari insting- insting, kebutuhan- kebutuhan, maupun dorongan- dorongan fisiologis semata. Apapun yang dilakukan oleh manusia merupakan pilihannya sendiri dengan segala konsekuensinya.

2.3.2             Perkembangan
Hall & Lindzey (1993) dalam Husna (2008) di dalam tulisan-tulisan psikolog eksistensialis, mereka lebih menekankan bahwa seluruh eksistensi individu merupakan peristiwa yang historis, bukanlah suatu urutan-urutan peristiwa-peristiwa perkembangan yang menandai individu yang tengah berkembang. Boss menyatakan bahwa “seluruh sejarah Dasein melekat dan hadir pada setiap saat”. Sejarah ini tidaklah terdiri dari tahapan-tahapan melainkan dari cara-cara eksistensi yang berbeda-beda. Jadi, cara eksistensi bayi berbeda dari cara eksistensi kanak-kanak, dan cara eksistensi kanak-kanak berbeda dari cara eksistensi remaja, tetapi cara-cara eksistensi ini belum dinyatakan secara eksplisit.
Konsep eksistensial mengenai perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi. Eksistensi itu tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam suatu proses untuk menjadi sesuatu yang baru, mentransendensi atau mengatasi dirinya sendiri. Tujuannya ialah untuk menjadikan manusia manusiawi sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan dari Dasein.
Manusia dapat bertindak hari ini seperti kemarin atau seperti masa kanak-kanaknya karena ia merasa bahwa apa yang dijumpainya saat ini sama dengan yang dijumpainya pada masa lalu. Dengan begitu, maka orang tersebut dapat kita katakan telah dimotivasikan oleh masa lampau, tetapi motivasi ini pun juga dapat ditentukan oleh ada-di-dunia sekarang. Dengan kata lain, dalam psikologi eksistensial, kebiasaan tidak dipakai sebagai prinsip penjelasan. Secara ideal, Dasein harus terbuka pada seluruh masa lampau, dan seluruh masa depan, dan juga seluruh masa sekarang seseorang.





BAB III
Penutup

A.      Kesimpulan
Dari seluruh uraian yang dibahas dalam makalah ini, menjelaskan bahwa teori eksistensial Binswanger adalah teori yang menyangkal konsep kasualitas, dualisme antara jiwa dan badan serta pemisahan antara orang dengan lingkungannya.  Eksistensial erat kaitannya dengan fenomenologi yang dimana seseorang selalu mengetahui segala hal atas dasar kesadaran akan apa yang telah dialaminya. Manusia bebas menentukan pilihannya untuk hidup secara autentik, atau memilih hidup untuk hidup secara tidak autentik. Sehingga apapun yang dilakukan oleh manusia merupakan pilihannya sendiri dengan segala konsekuensinya.

B.       Saran
Seseorang tidak boleh menghakimi orang lain seperti perspektif yang dipakainya sendiri. Karena manusia memiliki pilihannya sendiri untuk menentukan hidup. Tergantung pada pilihan mana yang akan dipilihnya.