BAB I
Pendahuluan
1.
1
Latar Belakang
Ilmu
psikologi merupakan ilmu yang selalu mengalami perkembangan sesuai dengan
perkembangan keilmuan yang ada. Salah satu cabang dari ilmu psikologi yang
mengalami perkembangan tersebut adalah psikologi kepribadian. Menurut Hjelle
& Ziegler dalam bukunya personality theories, ada tiga revolusi
dalam perkembangan psikologi kepribadian, yaitu psikoanalisa, behaviourisme dan
humanistik.
Teori yang
pertama adalah psikoanalisa dengan beberapa tokohnya Sigmund Freud dengan teori
Psikoanalisis Klasiknya, Erik Erikson dengan Teori Egonya, Carl Jung dengan
Teori Analitiknya, Teori-teori Psikososial oleh Alfred Adler, dan beberapa
teori lain yang dikemukakan Karen Horney, Erich Fromm dan Harry Stack. Hall
& Lindzey (1993, h. 8) semua teori ini berpandangan bahwa sebagian besar
tingkah laku manusia digerakkan oleh daya-daya psikodinamik seperti
motif-motif, konflik-konflik, dan kecemasan-kecemasan. Karena semua teoretikus dalam kelompok ini adalah
psikoterapi, maka sebagaimana telah disebutkan di muka, teori teori mereka juga
bercorak klinis.
Sedang
perkembangan psikologi kepribadian yang selanjutnya adalah behaviourisme. Teori
ini mencirikan manusia sebagai korban fleksibel, pasif dan penurut terhadap
stimulus lingkungan seperti halnya teori B.F Skinner. Selain itu teori ini juga
menekankan kesamaan yang esensial antara manusia dan hewan seperti yang terjadi
dalam percobaan Pavlov dengan teorinya Classical
Conditioning. Teori ini juga menitik beratkan pada peranan belajar sebagai
ikhtisar utama untuk menerangkan tingkah laku yang dapat dilihat dalam teori
Albert Bandura.
Teori Humanistik
merupakan teori terakhir dari revolusi dalam perkembangan psikologi
kepribadian. Salah satu tokoh dari teori ini adalah Ludwig Binswanger.
Ilmuwan-ilmuwan sebelumnya dalam teori ini adalah Henry A Murray, Kurt
Goldstein, Abraham Maslow, Andras Angyal, dan Carl Rogers. Teori ini mencirikan
manusia sebagai manusia yang bebas bermartabat dan manusia bergerak kearah
pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya bila lingkungan memungkinkan.
Pada awal tahun
1920-an, Binswanger menjadi salah seorang pelopor pertama dalam menerapkan
fenomenologi pada psikiatri. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi seorang analis
eksistensial (Hall & Lindzey, 1993, h. 176). Sejak itulah, Binswanger
dikenal sebagai tokoh teori eksistensial. Karena teori ini masih relatif asing
bagi penulis, maka penulis mengkaji ilmu ini sebagai bahan pembelajaran.
1.
2
Rumusan Masalah
1. Apakah
teori eksistensial Binswanger?
2. Apa
saja struktur eksistensi menurut Binswanger?
1. 3
Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk
mengetahui tentang teori eksistensial Binswanger.
2. Untuk
mengetahui struktur eksistensi menurut Binswanger.
BAB II
Pembahasan
2.1
Teori
Eksistensial Binswanger
Hall &
Lindzey (1993, h. 178) menyebutkan bahwa psikologi eksistensial berkeberatan terhadap konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu
pengetahuan alam dalam psikologi. Maksudnya adalah tidak ada hubungan sebab
akibat dalam keberadaan manusia. Seperti halnya yang terjadi dengan teori yang
dikemukakan oleh Freud bahwa pribadi manusia terbentuk sesuai dengan pengalaman
yang terjadi pada golden age (usia
0-5 tahun). Psikologi eksistensial jelas menentang konsep tersebut.
Pokok
teori Ludwig Binswanger yaitu mengenai psikologi eksistensial (Irfan, 2015).
Psikologi Eksistensial menyatakan bahwa psikologi tidak sama dengan ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya dan tidak akan menirunya (Hall & Lindzey, 1993, h.
178). Psikologi eksistensial memiliki banyak perbedaan dengan teori- teori
psikologi sebelumnya, karena psikologi eksistensial merupakan pemberontakan
dari beberapa teori-teori psikologi sebelumnya. Hall & Lindzey (1993, h.
179) dalam bukunya menyebutkan bahwa erat hubungannya dengan keberatan yang
pertama penolakan keras psikologi eksistensial terhadap dualisme antara subjek (jiwa) dan objek (badan, lingkungan atau
benda). Pemisahan yang berasal dari Descartes inilah yang telah mengakibatkan
orang yang menjelaskan pengalaman dan tingkah laku manusia dari sudut
rangsangan-rangsangan lingkungan atau keadaan-keadaan badaniah. “Manusialah
yang berpikir, bukan otak”(Straus, 1963).
Setelah
dua penyangkalan psikologi eksistensial sebelumnya, masih ada penyangkalan dari
psikologi eksistensial selanjutnya. Hall & Lindzey (1993, h. 179)
menyebutkan bahwa psikologi eksistensial juga menyangkal bahwa ada sesuatu
dibalik gejala-gejala yang menjelaskan atau menyebabkan munculnya gejala-gejala
tersebut. Penjelasan tentang eksistensi manusia dengan menggunakan
konsep-konsep seperti diri, suatu
energi psikis atau fisik yang tak sadar, atau kekuatan- kekuatan lain seperti
insting, gelombang otak, dorongan otak dan arkhetipe juga dikesampingkan.
Membahas
tentang psikologi eksistensial tentu erat kaitannya dengan istilah
fenomenologi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fenomenologi adalah ilmu tentang perkembangan
kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu
filsafat atau bagian dari filsafat. Al Barry M.D. (1994)
menyebutkan bahwa fenomenologi adalah manusia yang tahu dan mengalami. Singkat kata,
fenomenologi adalah manusia mengetahui segala hal dengan sadar, karena telah
mengalaminya sendiri. Pengetahuan manusia berasal dari pengalaman.
Fenomenologi,
sebagaimana terdapat dalam karya para psikolog, Gestalt dan Erwin Straus,
pertama-tama telah dipakai untuk meneliti gejala-gejala dari proses-proses
psikologis seperti persepsi, belajar, ingatan, pikiran dan perasaan tetapi
tidak digunakan untuk meneliti kepribadian. Sebaiknya, psikologi eksistensial,
telah menggunakan fenomenologi untuk menjelaskan gejala-gejala yang kerap kali
dipakai dipandang sebagai wilayah bidang kepribadian. Psikologi eksistensial dapat dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan
empiris tentang eksistensi manusiayang menggunakan metode analisis
fenomenologis.(Hall & Lindzey, 1993, h. 174)
2.2
Struktur
Eksistensi Binswanger
Ø
Ada-di-Dunia
Hall & Lindzey (1993, h.
181) menyebutkan bahwa Ada-di-Dunia, atau Dasein, adalah eksistensi manusia. Dasein bukanlah milik atau sifat
seseorang, bukan bagian dari ada manusia seperti ego pada Freud atau anima pada
Jung; melainkan keseluruhan eksistensi manusia. Konsep ini dalam bahasa inggris
disebut “being – in – the – world”.
Ø
Ada-melampaui-dunia
(Kemungkinan-kemungkinan dalam Manusia)
Analisis eksistensial
mendekati eksistensi manusia dengan tidak memakai pandangan lain selain bahwa
manusia ada di dunia, memiliki dunia, ingin melampaui dunia (Binswanger).
Dengan menggunakan istlah ada-melampaui-dunia, Binswanger tidak mengartikan
dunia lain (surga) melainkan mau mengungkapkan begitu banyak kemungkinan yang
dimiliki manusia mengatasi dunia yang disinggahinya dan memasuki dunia baru. (Hall
& Lindzey, 1993, h. 185-186).
Ø
Dasar
Eksistensi
Hidup di dunia
ini manusia memiliki kebebasan untuk memilih berbagai kemungkinan. Meskipun
demikian, bukan berarti manusia tidak memiliki batasan. Menurut Hall & Lindzey
(1993, h. 187) salah satu batas adalah dasar eksistensi kemana orang-orang
“dilemparkan”. Kondisi “keterlemparan” ini, yakni cara manusia menemukan
dirinya dalam dunia yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya.
“Semakin orang berkeraskepala
terhadap eksistensinya… maka semakin kuat pula pengaruh keterlemparan itu”
(Binswanger, 1958c, hlm 340). Meskipun keterlemparan dan batas tersebut
bersifat membatasi, namun masih ada banyak kemungkinan untuk memilih. (Hall
& Lindzey, 1993, h. 188). Sehingga dengan kemungkinan-kemungkinan itu
manusia dapat menjalani kehidupan autentik di dunia ini.
Ø
Rancangan-Dunia
Hall & Lindzey (1993, h.
188) menjelaskan bahwa rancangan-dunia adalah istilah
yang digunakan Binswanger untuk menyebut pola yang meliputi cara ada-di-dunia
seorang individu. Rancangan dunia seseorang menentukan cara bagaimana ia akan
bereaksi terhadap situasi-situasi khusus serta ciri sifat dan simtom macam mana
yang akan dikembangkannya. Rancangan-dunia tertanam atau membekas pada segala
sesuatu yang dilakukan individu. Batas-batas dari rancangan tersebut mungkin
sempit dan mengerut atau mungkin lebar dan meluas.
Ø
Cara-cara
Ada-di-Dunia
Untuk ada-di-dunia manusia memiliki banyak cara yang
berbeda, dan cara tersebut merupakan cara Dasein
memahami, menginterpretasikan dan mengungkapkan dirinya. Dalam Hall
& Lindzey (1993, h. 190), Binswanger, misalnya, berbicara tentang dwirangkap yang dicapai oleh dua insan
yang saling jatuh cinta. “Saya” dan “Kamu” menjadi “Kita”.
“Tugas ilmu pengetahuan tentang
manusia (para eksistensialis menyebut ilmu ini, antropologi) ialah memahami seluruh pengalaman manusia tentang
dirinya sendiri dalam semua cara
eksistensinya” (Binswanger, 1963, hlm. 173)
Ø
Eksistensial
Berbicara cara-cara
ada-di-dunia ada beberapa perbedaan antara Binswanger dan Boss. Karena Boss
lebih suka berbicara tentang sifat-sifat
yang melekat dalam setiap eksistensi manusia yang sifat-sifat ini disebut Eksistensial. Sifat-sifat yang melekat
pada manusia diantaranya:
·
Spasialitas Eksistensi
Menurut Hall
& Lindzey (1993, h. 191), Keterbukaan dan kejelasan merupakan sifat
spasialitas yang sejati dalam dunia manusia.
·
Temporalitas Eksistensi
Hall
& Lindzey (1993, h. 191) menyebutkan bahwa temporalitas bukan
membicarakan waktu menurut jam atau penanggalan. Temporalitas juga bukan
serangkaian titik sekarang yang tanpa akhir seperti dalam fisika. Menurut Al
Barry (1994, h. 744), temporalitas adalah kesementaraan. Dimana dalam
kesementaraan itu manusia dapat digunakan oleh sebagian manusia untuk apa yang
dikehendakinya.
·
Badan
Badan
didefinisikan sebagai ruang lingkup badaniah dalam pemenuhan eksistensi
manusia. Badan tidak terbatas pada apa yang ada dikulit; tetapi meluas
sepanjang hubungan individu dengan dunia. (Hall & Lindzey, 1993, h.
191).
·
Eksistensi manusia di dunia sebagai milik
bersama
Hall
& Lindzey (1993) dalam Irfan(2015) menyebutkan bahwa Psikologi eksistensial
kadan-kadang dituduh bersifat solipsistik, yakni memandang setiap individu
hidup tertutup dalam dunia pribadinya sendiri tidak tahu-menahu tentang dunia
tempat orang lain hidup. Eksistensi manusia tidak pernah bersifat pribadi,
kecuali dalam kondisi patologis tertentu. Eksistensi manusia selalu merupakan
berbagai dunia satu sama lain.
·
Suasana hati atau penyesuaian (Attunement)
Cara manusia tinggal di dunia selalu disesuaikan
dengan salah satu suasana hati. Suasana-suasana hati itu sendiri adalah
eksistensial- eksistensial, potensi- potensi yang melekat dalam setiap
eksistensi manusia. (Hall & Lindzey, 1993, h.
192).
2.3
Dinamika dan Perkembangan Eksistensi
2.3.1
Dinamika
Hall
& Lindzey (1993) dalam Irfan (2015) Psikologi eksistensial menolak konsep
mengenai kausalitas, yaitu dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan
individu dari lingkungannya. Psikologi eksistensial mengkonsepsikan tingkah
laku sebagai kebebasan yang dimiliki oleh tiap individu untuk memilih, dan
hanya ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Bukan sebagai
makhluk yang terdiri dari insting- insting, kebutuhan- kebutuhan, maupun
dorongan- dorongan fisiologis semata. Apapun yang dilakukan oleh manusia
merupakan pilihannya sendiri dengan segala konsekuensinya.
2.3.2
Perkembangan
Hall &
Lindzey (1993) dalam Husna (2008) di dalam tulisan-tulisan psikolog
eksistensialis, mereka lebih menekankan bahwa seluruh eksistensi individu
merupakan peristiwa yang historis, bukanlah suatu urutan-urutan
peristiwa-peristiwa perkembangan yang menandai individu yang tengah berkembang.
Boss menyatakan bahwa “seluruh sejarah Dasein melekat dan hadir
pada setiap saat”. Sejarah ini tidaklah terdiri dari tahapan-tahapan melainkan
dari cara-cara eksistensi yang berbeda-beda. Jadi, cara eksistensi bayi berbeda
dari cara eksistensi kanak-kanak, dan cara eksistensi kanak-kanak berbeda dari
cara eksistensi remaja, tetapi cara-cara eksistensi ini belum dinyatakan secara
eksplisit.
Konsep
eksistensial mengenai perkembangan yang paling penting adalah konsep
tentang menjadi. Eksistensi itu tidak pernah statis, tetapi selalu
berada dalam suatu proses untuk menjadi sesuatu yang baru, mentransendensi atau
mengatasi dirinya sendiri. Tujuannya ialah untuk menjadikan manusia manusiawi
sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan dari Dasein.
Manusia
dapat bertindak hari ini seperti kemarin atau seperti masa kanak-kanaknya
karena ia merasa bahwa apa yang dijumpainya saat ini sama dengan yang
dijumpainya pada masa lalu. Dengan begitu, maka orang tersebut dapat kita
katakan telah dimotivasikan oleh masa lampau, tetapi motivasi
ini pun juga dapat ditentukan oleh ada-di-dunia sekarang. Dengan kata lain,
dalam psikologi eksistensial, kebiasaan tidak dipakai sebagai
prinsip penjelasan. Secara ideal, Dasein harus terbuka pada
seluruh masa lampau, dan seluruh masa depan, dan juga seluruh masa sekarang
seseorang.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari seluruh uraian yang dibahas
dalam makalah ini, menjelaskan bahwa teori eksistensial Binswanger adalah teori
yang menyangkal konsep kasualitas, dualisme antara jiwa dan badan serta
pemisahan antara orang dengan lingkungannya.
Eksistensial erat kaitannya dengan fenomenologi yang dimana seseorang
selalu mengetahui segala hal atas dasar kesadaran akan apa yang telah
dialaminya. Manusia bebas menentukan pilihannya untuk hidup secara autentik,
atau memilih hidup untuk hidup secara tidak autentik. Sehingga apapun
yang dilakukan oleh manusia merupakan pilihannya sendiri dengan segala
konsekuensinya.
B. Saran
Seseorang tidak boleh
menghakimi orang lain seperti perspektif yang dipakainya sendiri. Karena
manusia memiliki pilihannya sendiri untuk menentukan hidup. Tergantung pada
pilihan mana yang akan dipilihnya.