Kamis, 06 April 2017

Terapi Client Centered

BAB I
Pendahuluan

1. 1            Latar Belakang
Setiap manusia tentu mengalami banyak sekali konflik selama menjalani kehidupannya. Baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, juga yang masih lajang ataupun yang sudah mengarungi kehidupan pernikahan. Dalam menghadapi konfliknya, manusia bisa jadi mampu menyelesaikannya sendiri ada pula yang memerlukan bantuan. Namun lebih banyak mereka yang memerlukan bantuan orang lain untuk melihat dari sudut pandang yang lain atas masalah yang dihadapinya.
Dalam ilmu psikologi, terdapat beberapa pendekatan dan terapi dalam menangani beberapa kasus atau masalah yang dihadapi seorang klien. Pendekatan psikoanalisis adalah salah satu dari beberapa pendekatan tersebut. Sigmund Freud merupakan tokoh utama aliran tersebut.
Pandangan Freudian tentang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik, mekanistik, dan reduksionistik. Menurut Freud, manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naluriah, dan oleh peristiwa-peristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama dari kehidupan. (Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, h.15)
Namun dalam prakteknya, tidak sepenuhnya pandangan Freudian tersebut berlaku. Pendekatan Psikoanalisis yang dipraktekkan sesuai dengan pandangan Freud juga mengalami keterbatasan. Mengapa demikian? Karena Freud beranggapan bahwa sifat manusia cenderung lebih pada hal-hal yang bersifat negatif. Namun, ada pula beberapa tokoh lain yang mengembangkan beberapa gagasannya dan menjadikan pendekatan psikologis yang dapat membantu manusia menyelesaikan konflik dalam hidup. Salah satu dari mereka adalah Carl R. Rogers.


Gerald Corey (Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, h. 91) menjelaskan bahwa Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebut keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomenalnya.
Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya. (Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, h.91)
 
1. 2            Rumusan Masalah
a)      Apa landasan teoritis berkembangnya terapi client-centered?
b)      Siapa tokoh pencetus terapi client-centered?
c)      Apa tujuan terapi client-centered?
d)     Bagaimana fungsi dan peran terapis?
e)      Bagaimana teknik dan prosedur berjalannya terapi client-centered?
f)       Bagaimana penerapan terapi client-centered pada sebuah kasus yang nyata?

1. 3            Tujuan Penulisan Makalah
a)      Untuk mengeahui landasan teoritis berkembangnya terapi client-centered.
b)      Untuk lebih mengenal tokoh pencetus terapi client-centered.
c)      Untuk mengetahui tujuan terapi client-centered.
d)     Untuk mengetahui fungsi dan peran terapis.
e)      Untuk mengetahui teknik dan prosedur terapi client-centered.
f)       Untuk mengetahui penerapan terapi client-centered pada sebuah kasus yang nyata.


BAB II
Pembahasan

2.1              Landasan Teoritis Berkembangnya Terapi Client-Centered
Terapi client-centered ini dikembangkan oleh seorang tokoh aliran humanistik bernama Carl R. Rogers sebagai respon dari keterbatasan-keterbatasan dasar dari terapi psikoanalisis. Pada awal perkembangannya Carl Rogers menamakan non-directive counseling sebagai reaksi kontra terhadap teori psikoanalisis yang bersifat direktif tradisional. Karena luasnya area aplikasi dan pengaruh teori ini terutama pada isu – isu kekuasaan dan politik, yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan, memiliki, membagi atau menyerahkan kekuasan dan control atas orang lain dan atas dirinya, makateori ini lebih dikenal sebagai teori yang berpusat pada manusia atau klien (Client-Centered).

2.2              Tokoh Pencetus Terapi Client-Centered
Carl Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illionis, sebuah daerah pinggiran Chicago. Ayahnya, Walter A. Rogers, seorang pekerja teknik sipil dan ibunya, Julia M. Cushing, seorang ibu rumah tangga dan seorang Kristen Pentakostal yang setia. Carl adalah anak keempat dari enam bersaudara. Carl Rogers adalah seorang psikolog yang terkenal dengan pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered). Masuk psikologi klinis di Columbia University dan menerima gelar Ph.D thn 1931. Tahun 1942, dia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy. Pada thn 1945 dia di undang untk mendirikan pusat konseling di Universitas of Chicago. Tahun 1946-1957 menjadi Presiden the American Psychological Association. Beliau meninggal pada tanggal 4 Februari 1987 di San Diego, California, Amerika Serikat.

2.3              Tujuan Terapi Client-Centered
Tujuan dasar terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan klien menghambatnya untuk tampil utuh di hadapan orang lain dan dalam usahanya menipu orang lain, ia menjadai asing terhadap dirinya sendiri. (Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, h. 94)
Rogers (1961) dalam Corey (2009) menguraikan ciri-ciri orang yang bergerak ke arah menjadi teraktualkan sebagai berikut: (1) keterbukaan pada pengalaman, (2) kepercayaan terhadap organisme sendiri, (3) tempat evaluasi internal, dan (4) kesediaan untuk menjadi suatu proses. Ciri-ciri tersebut merupakan tujuan-tujuan dasar terapi client-centered.

1)      Keterbukaan pada Pengalaman
Keterbukaan pada pengalaman perlu memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknyasupaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai lawan kebertahanan, keterbukaan dan pengalaman menyiratkan menjadilebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.
2)      Kepercayaan terhadap Organisme Sendiri
Saalah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri.dengan meningkatnya keterbukaan klien pada pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan klien kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
3)      Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lenih banyak mencari jawaban-jawaban dari diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaanya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirnya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan dari orang lain dengan persetujuan dari diri sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4)      Kesediaan untuk Menjadi Suatu Proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian yang merupakan lawan dari konsep diri tentang produk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dan berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru dari revisi-revisi alih-alih menjadi wujud yang membeku.

2.4              Fungsi dan Peran Terapis
Peran terapis client-centered berakar pada cara-cara keberadaanya dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan klien “berbuat sesuatu”. Penelitian tentang terapi client-centered tampaknya menunjukkan bahwa yang menuntut perubahan kepribadien klien adalah sikap-sikap terapis alih-alih pengetahuan, teori-teori atau teknik-teknik yang digunakannya.pada dasarnya terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Dengan menghadapi klien pada taraf pribadi ke pribadi, maka “peran” terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah mengubah suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan klien.
 Jadi, terapis client-centered membangun hubungan yang membantu dimana klien akan mengalami kebebasan yang diperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Klien menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam dirinya maupun dalam dunia.
Yang pertama dan terutama, terapis harus bersedia menjadi nyata dalam hubungan dengan klien. Terapis menghadapi klien berlandaskan pengalaman dari saat ke saat dan membantu klien dengan jalan memasuki dunianya alih-alih menurut kategori-kategori diagnostik yang telah dipersiapkan. Melalui perhatian yang tulus, respek, penerimaan, dan pengertian terapis, klien bisa menghilangkan pertahanan-pertahanan dan persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi pribadi yang lebih tinggi.

2.5  Teknik dan Prosedur Terapi Client Centered
Corey (1995) mengatakan bahwa konselor harus memperlihatkan berbagai keterampilan interpersoanal yang dibutuhkan dalam proses konseling. Keterampilan – keterampilan tersebut antara lain :
1.         Mendengar Aktif
2.         Mengulang kembali (Restating/Paraphrasing)
3.         Memperjelas (Clarifyng)
4.         Menyimpulkan (Summarizing)
5.         Bertanya (Questioning)
6.         Menginterpretasi (Interpreting)
7.         Mengkonfrontasi (Confronting)
8.         Merefleksikan Perasaan (Reflecting Feeling)
9.         Memberikan dukungan (Supporting)
10.     Berempati (Empathizing)
11.     Menfasilitasi (Fcilitating)
12.     Memulai (Initiating)
13.     Menentukan Tujuan (Setting Goals)
14.     Mengevaluasi (Evaluating)
15.     Memberikan umpan balik (giving feedback)
16.     Menjaga (protecting)
17.     Mendekatkan diri (Disclosing Self)
18.     Mencontoh Model (Modeling)
19.     Mengakhiri (Terminating)

2.6              Contoh Penerapan Terapi pada Kasus yang Nyata
Filsafat yang mendasari teori client-centered memiliki penerapan langsung pada proses belajar mengajar. Perhatian Rogers pada sifat prose belajar yang dilibatkan di dalam konseling juga telah beralih pada perhatian terhadap apa yang terjadi dalam pendidikan. Dalam buku yang berjudul Freedom to Learn (1969), Rogers mengupas soal-soal yang mendasar bagi pendidikan humanistic dan mengajukan suatu filsafat bagi kegiatan belajar yang terpusat pada siswa. Pada dasarnya, filsafat pendidikan yang diajukanoleh Rogers sama dengan pandangannya tentang konseling dan terapi, yakni ia yakin bahwa siswa bisa dipercaya untuk menemukan masalah-masalah yang penting, yang berkaitan dengan keberadaan dirinya. Para siswa bisa menjadi terlibat dalam kegiatan belajar yang bermakna, yang bisa timbul dalam bentuknya yang terbaik jika guru menciptakan iklim kebebeasan dan kepercayaan. Fungsi guru sama dengan fungsi yang dijalankan oleh  terapis client-centered, yaitu: kesejatian, keterbukaan, ketulusan, penerimaan, pengertian, empati, dan kesediaan untuk membiarkan para siswamengeksplorasi material yang bermakna menciptakan atmosfer dimana kegiatan belajar yang signifikan bisa berjalan. Rogers menganjurkan pembaharuan pendidikan dan menyatakan bahwa jika ada satu saja diantara seratus orang guru mengajar di ruangan-ruangan kelas yang terpusat pada siswa dimana para siswa diizinkan untuk bebas menekuni persoala-persoalan yang relevan, maka pendidikan di Amerika Serikat niscaya mengalami revolusi.
Dalam buku yarlg berjudul Teachers Can Make a Difference (1973), penulis memeriksa pesan-pesan utama yang disampaikan kepada para siswa dalam kerangka pendidikan tradisisonal. Singkatnya, pesan-pesan ang demikian sering disampaikan di ruangan kelas konvensional yang hampir secara eksklusif terfokus pada isi dan kurikulum adalah sebagai berikut:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar