BAB
I
PENDAHULUAN
1. 1
Latar
Belakang
Pendekatan
kognitif dan behavioral atau yang lebih dikenal dengan nama
cognitive-behavioral therapy menjadi suatu praktek yang terkenal dalam
psikologi konseling. Sebagai contoh lebih dari setengah fakultas dan praktisi didunia
berdasarkan survey mendapatkan pengaruh besar dari pendekatan kognitif dan
behavioral, disamping itu mereka juga mejadikan pendekatan ini sebagai
pendekatan yang mereka gunakan pertama atau kedua dalam orientasi pendekatan
mereka. Walaupun teori ini telah muncul beberapa tahun yang lalu akan tetapi
semua komponen yang ada relevan dengan keadaan sekarang. Pada mulanya
pendekatan kognitif dan behavioral adalah pendekatan yang berdiri
sendiri.Keduanya memiliki pandangan sendiri terhadap manusia, bahkan memiliki
metode terapi yang berbeda pula.
Pendekatan
Behavioral muncul berasal dari B.F Skinner dengan teori kondisi pengoperan.
Kemudian pendekatan behavioral ini menjadi pendekatan yang populer pada masa
1960-an. Pada tahun 1970-an pendekatan behavioral mendapatkan pengaruh dari
teori kognitif. Bandura merupakan salah seorang yang pertama kali menggunakan
konsep pendekatan Kognitif-Behavioral.Pendekatan Kognitif-Behavioral memiliki
pandangan bahwa seorang individu memiliki perilaku yang dipengaruhi oleh kondisi
internal (kognitif).Berdasarkan hal tersebut, terapi Kognitif-Behavioral
menekankan bahwa perubahan tingkah laku dapat terjadi jika seorang individu
mengalami perubahan dalam masalah kognitif.Terapi dalam pendekatan
Kognitif-Behavioral merupakan gabungan dari terapi yang ada pada pendekatan
Kognitif dan pendekatan Behavioral.
1. 2
Rumusan
Masalah
a) Apakah yang dimaksud dengan intervensi?
b) Apa saja bentuk intervensi klinis?
c) Apa saja rangkaian intervensi?
d) Apa yang dimaksud Cognitive
Behavior Therapy
(CBT) atau Terapi Perilaku Kognitif?
e) Apa tujuan terapi CBT?
f) Apa
yang dimaksud Model ABCDE?
g) Apa
yang dimaksud Rekaman Pikiran Disfungsional?
h) Apa
yang dimaksud terapi gelombang ketiga?
i)
Apa
saja kelebihan dan kekurangan CBT?
1. 3
Tujuan
Penulisan Makalah
a) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan intervensi.
b) Untuk mengetahui bentuk intervensi klinis.
c) Untuk mengetahui rangkaian intervensi.
d) Untuk mengetahui definisi Cognitive Behavior Therapy (CBT) atau Terapi Perilaku Kognitif.
e) Untuk mengetahui tujuan terapi CBT.
f) Untuk
mengetahui Model ABCDE.
g) Untuk
mengetahui Rekaman Pikiran Disfungsional.
h) Untuk
mengetahui terapi gelombang ketiga.
i)
Untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangan CBT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Intervensi
Intervensi adalah upaya untuk mengubah
perilaku, pikiran, atau perasaan seseorang (Markam, 2003).dapat dilakukan oleh
profesional/ terapis bidang lain (tidak harus psikolog).Intervensi klinis merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan klinisi untuk mengubah perilaku atau keadaan sosial dengan sengaja
sesuai tujuan yang dikehendaki.Bentuk intervensi klinis: psikoterapi,
rehabilitasi psikososial, & preventif.Salah satu intervensi dalam konteks
hubungan professional antara psikolog dan pasien adalah psikoterapi.
2.2
Bentuk
Intervensi Klinis
Beberapa bentuk intervensi klinis adalah
sebagai berikut:
a) Rehabilitasi
Psikososial
Alternatif
intervensi yang berusaha memberikan informasi bagi keluarga/ pasien mengenai
masalah/ gangguan yang dialami; membantu pasien memahami, mengurangi/ mencegah
munculnya masalah terkait dengan situasi sosial; atau membantu pasien
menormalkan/ mengoptimalkan kembali kualitas hidup mereka terutam di lingkungan
sosial. Contoh rehabilitasi psikososial: Melatihkan coping stress pada
mantan pecandu narkoba; terapi okupasi pada penderita skizofrenia residual;
melatihkan pada keluarga penderita skizofrenia mengenali simtom psikotik.
b) Intervensi
Preventif
Caplan (1964), membagi
level (3) pencegahan pada masalah kesehatan mental:
a.
Pencegahan Tersier
Usaha mencegah konsekuensi jangka panjang ataupun
jangka pendek dari keparahan gangguan yang dialami penderita. Rehabilitasi
psikososial salah satu contohnya.
b.
Pencegahan Sekunder
Usaha pencegahan pada
kelompok individu beresiko (high risk population). Level ini akan
efektif apabila: menangani faktor pengetahuan pada kelompok resiko tertinggi
pada gangguan secara spesifik; penanganan pada kelompok beresiko yang paling
mudah dijangkau.
Tujuan: memberikan
pengetahuan kepada kelompok beresiko,screening awal, imunisasi/
vaksinasi.
Misal: pembinaan
reproduksi sehat pada calon TKW, imunisasi polio pada balita.
c. Pencegahan Primer
Usaha yang dilakukan untuk
mengurangi/ membatasi laju timbulnya gangguan dengan melakukan modifikasi
lingkungan atau memperkuat individu agar terhindar menjadi resiko tinggi.
Subjeknya komunitas umum.
Tujuan: Melawan
faktor resiko (counteracting risk facto
Memperkuat faktor pengaman
(reinforcing protective factor)
Misal: Konseling
pra-nikah, penyuluhan anti-flu burung. (Coie, dkk, 1993).
Lima metode dalam level
pencegahan primer :
1)
Meningkatkan kelekatan yang aman & mengurangi
kekerasan dalam rumah tangga.
2)
Mengajarkan keterampilan kognitif & sosial.
3) Merubah lingkungan menjadi lebih mendukung berkembangnya
perilaku adaptif.
4)
Meningkatkan keterampilan dalam mengelola stres.
5) Mempromosikan pemberdayaan kelompok masyarakat, dengan
membantu masyarakat mengendalikan & mengurangi resiko berkembangnya
gangguan mental (perubahan sosial)
Misal: mengatasi
kemiskinan, mengatasi bayi lahir dengan cacat fisik, memberikan kesempatan yang
sama bagi etnis minoritas.
c) Psikoterapi
Psikoterapi merupakan suatu bentuk perlakuan
(treatmen) terhadap permasalahan yang sifatnya emosional, dimana seorang
terapis secara sengaja membina hubungan profesional dengan klien, dengan tujuan
menghilangkan, mengubah, atau memperlambat simtom untuk menghilangkan pola
perilaku terganggu, serta meningkatkan perkembangan pribadi ke arah yang
positif.
2.3
Rangkaian
Intervensi
Rangkaian perjalanan terapi oleh Hokanson
(phares dan trull, 2001):
1.
Pertemuan awal, tahap yang menentukan
kelancaran dan keberhasilan tahap selanjutnya. Menjelaskan secara umum
keberadaan terapi dan jenis bantuan yang diberikan.
2.
Asesmen, prosedur asesmen dipilih berdasarkan
sifat dari problem klien, orientasi dari terapis atau faktor-faktor lain.
Pengumpulan informasi klien dapat diambil melalui pemberian berbagai macam tes
psikologi.
3.
Tujuan treatmen, klien dan terapis mulai
mendiskusikan masalah dengan sistematis dan melakukan apa yang diperoleh dari masalah-masalah
yang telah terdata asesemennya.
4.
Implementasi treatment, dalam hal ini terapis
memutusakan bentuk terapi secara khusus, yang diharapkan klien mulai
dipercayakan dapat menghadapi problem secara independen.
5.
Terminasi, evaluasi, dan tindak lanjut,
terapi mengumpulkan data dan membuat catatan tentang kemajuan klien untuk
mengevaluasi usaha dan pelayanan mereka.
2.4
Definisi Cognitive Behavior Therapy (CBT) atau Terapi Perilaku Kognitif
Aaron T. Beck
(1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling
yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan
cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pedekatan
CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang
mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman
konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu
munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk
membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Bush (2003)
mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua
pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan
kepercayaan.Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan
mengubah kesalahan.Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan positive
thinking,
tetapi berkaitan pula dengan happy thinking. Sedangkan Terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan.Individu belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.
2.5
Tujuan
Terapi CBT
Secara sederhana, tujuan
terapi kognitif adalah berpikir logis. Lagi pula, kata cognition
(kognisi), pada dasarnya sinonim dengan kata thought (pikiran). Jadi,
terapis kognitif pada dasarnya mengasumsikan bahwa cara kita memikirkan tentang
berbagai kejadian menentukan cara kita merespons. Dengan kata lain,
“interpretasi dan persepsi individu-individu tentang situasi, peristiwa dan
masalah saat ini mempengaruhi bagaimana mereka bereaksi” (Beck, 2002, hlm.
163). Masalah psikologis timbul dari kognisi yang tidak logis. Oleh sebab itu,
peran terapis kognitif adalah untuk membenarkan pemikiran yang keliru (Bermudes,
Wright & Casey, 2009; Clark, Hollified, Leahy & Beck, 2009; Dobson,
2012; Dobson & Dobson, 2009). (Pomerantz, 2013, hlm. 441)
2.6
Model ABCDE
(Albert Ellis)
Salah satu kontribusi
Ellis yang paling abadi dan sangat abadi dan sangat berguna secara klinis
adalah Model ABCDE untuk memahami dan mencatat dampak kognisi pada emosi
(juga dikenal sebagai Model ABC). Di dalam Model ABCDE, A, B, C
mempresentasikan model tiga langkah yang dideskripsikan diawal bab ini:
Kejadian menghasilkan pikiran, yang pada gilirannya menghasilkan perasaan.
Model Ellis sekedar menggantikan ketiga istilah ini dengan istilah yang lebih
mudah diingat: peristiwa pengaktif (Activating event) (A),
keyakinan (Belief) (B), konsekuensi emosional (emotional
Consequence) (C). Menurut Ellis, keyakinan irasional beracun karena
berfungsi sebagai tuntutan dogmatik yang kaku yang kita terapkan pada diri kita
sendiri. Meskipun ini mungkin adalah preferensi-preferensi yang kuat, tetapi
faktanya, mereka bukan “keharusan” atau aturan tersebut. Di samping itu, kita
cenderung menyertai tuntutan ini dengan estimasi yang terlalu tinggi tentang
konsekuensi kegagalan. Ketika mengoreksinya, Ellis melihat logika yang salah di
semua pernyataan-diri ini dan juga mengenai kesempatan untuk mendapatkan
manfaat terapeutik.
Untuk menyelesaikan ini,
model Ellis menambahkan dua langkah lagi, D dan E. Di dalam modelnya, D adalah
singkatan untuk perdebatan (dispute), dan E adalah singkatan
untuk keyakinan baru yang efektif (effective new belief).
Secara spesifik, keyakinan irasional (B) adalah target perdebatan. Model Ellis
bukan hanya membantu klien mengidentifikasi keyakinan-keyakinan yang tidak
rasional (B) yang mungkin memperantarai kejadian
dalam hidupnya (A) dan perasaan yang kemudian dirasakannya (C); ini juga
mendesak klien untuk menantang keyakinan tersebut. Ini dapat menjadi pengalaman
yang memberdayakan bagi klien yang telah telah terperangkap dalam rangkaian ABC
yang membuatnya terus-menerus merasa tidak bahagia, cemas, dan sebagainya.
Ketika mereka menyadari bahwa pengalaman itu tak perlu berhenti di C (perasaan
yang tak diinginkan), maka mereka berhak untuk menantang keyakinan yang
menyebabkan C dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih rasional, maka manfaat
terapeutik pun bekerja.
2.7
Rekaman
Pikiran Disfungsional (Aaron Beck)
Salah satu bagian terpenting dari teori
depresi Beck adalah gagasannya tentang tiga serangkai kognitif, ia
mengatakan bahwa tiga kognisi – pikiran tentang diri sendiri, dunia luar dan
masa depan – semuanya berkontribusi pada kesehatan mental kita. Beck berteori
bahwa ketiga keyakinan ini negatif, maka akan menghasilkan depresi (Alford
& Beck, 1997; Beck, 1995). (Tautan Web 15.3 Judith Beck)
Esensi pendekatan kognitif Beck, seperti
halnya pendekatan Ellis, adalah meningkatkan tingkat berpikir logis klien.
Pendekatan Beck memasukkan sebuah cara untuk mengorganisasikan
pengalaman-pengalaman klien ke dalam kolom-kolom pada sebuah halaman tertulis.
Di dalam terapi kognitif Beck, format ini dikenal sebagai Rekaman Pikiran
Disfungsional (misalnya, Beck, 1995, 2002; Freeman dkk, 1990; Leahy, 2003),
dan meskipun judulnya sedikit berbeda dengan akronim ABCDE Ellis, fungsi mereka
serupa. Biasanya dalam sebuah Rekaman Pikiran Disfungsional termasuk
kolom-kolom untuk:
·
Deskripsi
singkat tentang kejadian/situasinya,
·
Pikiran-pikiran
otomatis tentang kejdian/situasi itu (dan sejauh mana klien meyakini
pikiran-pikiran tersebut),
·
Emosi
(dan intensitasnya),
·
Respon
adaptif (mengidentifikasi distorsi di dalam pikiran otomatis)
·
Hasil
(emosi setelah respon adaptif diidentifikasi dan seberapa jauh klien masih
meyakini pikiran otomatis tersebut).
2.8
Terapi
Gelombang Ketiga (Terapi Berbasis Perhatian dan Penerimaan)
Selama beberapa tahun terakhir, sebuah bentuk
terapi baru yang didasarkan pada perhatian dan penerimaan telah menjadi kian
populer dan didukung secara empiris (Hayes, Villatte, Levin, & Hildebrant,
2011; Masuda & Wilson, 2009).Secara kolektif, mereka sering disebut “terapi
gelombang ketiga”yang merujuk pada evolusi dari behaviorisme (gelombang
pertama), ke terapi kognitif (gelombang kedua) ke terapi-terapi lebih baru ini
(Follete, Darrow, & Bonow, 2009; Hayes, 2004). (Pomerantz, 2013, hlm. 460-461)
Perhatian merupakan inti dari terapi-terapi
gelombang-ketiga (Dimidjian & Linehan, 2009; Hayes, Villate, dkk., 2011;
Shapiro, 2009). Germer (2005) dalam Pomerantz (2013) menyebutkan bahwa
“Definisi perhatian… adalah (1) kesadaran,
(2) tentang pengalaman saat ini, (3) dengan penerimaan”.
Dalam Pomerantz (2013) dijelaskan bahwa
perhatian mendorong keterlibatan penuh seseorang dengan proses-proses mental
internalnya sendiri dengan cara nonkonfrontasional. Inilah perbedaan kunci
dengan terapi-terapi kognitif Albert Ellis dan Aaron Beck yang lebih
tradisional.Sementara Ellis dan Beck mendorong orang-orang untuk menentang dan
merevisi pikiran mereka, tetapi berbasis-perhatian lebih pada mengubah hubungan
dengan orang-orang dengan pikirannya dan bukan pada pikiran itu sendiri
(Olatunji & Feldman, 2008).Jadi, alih-alih berhubungan dengan pikiran
sebagai penentu mutlak atas realistis atau kebenaran, klien dapat belajar untuk
memahami pikiran mereka sebagai sugesti-sugesti yang cepat berlalu yang mungkin
sama sekali tidak membutuhkan banyak reaksi.Setelah hubungan dengan pikiran
diubah dengan cara ini, individu mungkin akan merasa lebih mudah untuk
menghadapi pikiran (atau perasaan atau sensasi) yang tidak menyenangkan, dan
bukan menghindari mereka. Artinya, alih-alih untuk terlibat untuk menghindari
pengalaman, seperti yang diistilahkan oleh para terapis gelombang ketiga,
individu dapat terlibat di dalam penerimaan: membiarkan pengalaman
internal itu berjalan tanpa melawannya.Ini dapat memfasilitasi perubahan
positif bagi klien-klien dengan beragam masalah psikologis (Dimidjian &
Linehan, 2008; Farmer & Chapman, 2008; Roemer & Orsillo, 2009).
Macam-macam terapi CBT
adalah sebagai berikut:
1.
Terapi Penerimaan dan
Komitmen
Menurut Hayes dalam Pomerantz (2013)terapi penerimaan
dan komitmen (acceptance and commitment therapy; ACT) adalah
pengalaman psikologis internal, seperti emosi, pikiran, dan sensasi (Bach &
Moran, 2008; Hayes, 2004; Hayes & Strosahl, 2004). Terlalu sering terjadi
keadaan saat individu-individu yang bergulat dengan masalah psikologis belum
mampu menerima kejadian pribadi ini, tetapi sudah buru-buru menghindarinya
melalui pengalihan perhatian. Penghindaran pengalaman semacam ini dapat
mendasari semua jenis masalah psikologis (Eifert & Forsyth, 2005). Sedikit
mirip fobia, tetapi objek yang ditakuti ada di dalam diri individu, bukan di
luar dirinya. Penghindaran adalah sebuah mekanisme penanganan yang lazim tetapi
tidak menolong. Jadi, di dalam konteks ini, penerimaan berarti menghadapi ketakutan
internal. (Tautan Web 15.4 Website mengenai Steven Hayes.)
Hayes (2004) dalam Pomerantz (2013) menyajikan dua
metafora yang mengklarifikasi prinsip-prinsip dasar penerimaan dalam ACT. Di
dalam metafora pertama, ia meminta kita untuk membayangkan pikiran-pikiran kita
sebagai sebuah parade (pawai). Di dalam parade ini kita adalah penonton, bukan
peserta. Menurut Hayes, semakin lama kita dapat mengakui pikirn-pikiran kita
tanpa bereaksi, semakin besar pula peluang kesejahteraan psikologis kita. Di dalam
metafora kedua, Hayes membandingkan
proses menerima pengalaman internal dengan melompat dari tangga, bukan
menuruninya. Menuruni anak tangga terasa lebih aman, katanya, karena kita
senantiasa menjaga kendalinya. Melompat dari tangga menyerahkan seluruh kendali
pada gravitasi. Klien, menurut Hayes, perlu “latihan melompat” dalam kaitannya
dengan pikiran, perasaan dan sensasi mereka. Artinya, sedikit demi sedikit,
mereka perlu berhenti berjuang untuk menjaga kontrol atas
pengalama-pengalamannya dan percaya bahwa kemanapun pengalaman membawa mereka,
mereka akan mampu mendarat dengan aman dan tetap pada jalur yang semestinya.
2.
Terapi Perilaku Dialektis
Terapi perilaku dialektis (Dialectical Behavior
Therapy;DBT) secara khusus dikembangkan oleh Marsha Linehan untuk
menangani gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder;
BPD)(Koerner & Dimeff, 2007; Linehan,1993a, 1993b). Penanganan ini telah
mencapai tingkat dukungan empiris yang cukup kuat, sehingga ia sekarang
dianggap sebagai penanganan pilihan untuk BPD, dan dalam bentuk yang sudah
diadaptasi juga digunakan untuk gangguan-gangguan lain (Koerner & Dimeff,
2007; Kliem, Kroger & Kosfelder, 2010; Lynch, Trost, Salsman & Linehan,
2007; Paris, 2009). (Tautan Web 15.5 Web mengenai Marsha Linehan.)
Linehan (1993b) memasukkan empat modul latihan
keterampilan spesifik di dalam DBT. Secara kolektif, mereka berkaitan erat
dengan komonen-komponen inti DBT yang dideskripsikan di atas, tetapi sebaiknya
mereka dideskripsikan sebagai strategi-strategi pemecahan masalah yang
diajarkan terapis kepada klien. Keterampilan-keterampilan tersebut adalah:
·
Regulasi emosi, yang
melibatkan identifikasi, pendeskripsian, dan penerimaan dan bukan menghindari
emosi-emosi negatif;
·
Toleransi kesusahan, yang
menekankan pengembangan teknik-teknik menenangkan diri dan pengembangan impuls
untuk membantu klien-klien dengan BPD meminimalkan perilaku-perilaku seperti
usaha bunuh diri, menyakiti diri sendiri dan penyalahgunaan obat;
·
Efektivitas
interpersonal, yang membantu klien menentukan keterampilan-keterampilan
ketegasan sosial dengan tepat untuk mempertahankan hubungan yang mungkin akan
dirusak oleh ledakan-ledakan emosional yang ekstrem; dan
·
Keterampilan perhatian,
yang mendorong klien untuk terlibat penuh di dalam kehidupan mereka saat ini,
termasuk pengalaman-pengalaman internal mereka, seperti perasaan, pikiran,
sensasi, tanpa penghindaran dan evaluasi.
3.
Terapi Metakognitif
Dalam Pomerantz (2013) disebutkan Ide utama di dalam
praktik terapi metakognitif yang relative baru adalah bahwa peristiwa pengaktif
tersebut bisa jadi adalah kognisi itu sendiri, bukan kejadian eksternal
tertentu. Mudahnya,
orang-orang dapat menjadi depresi, cemas atau tidak sehat secara psikologis
karena reaksi terhadap pikirannya
sendiri dan bukan reaksi terhadap hal-hal yang terjadi pada dirinya (Fisher
& Wells, 2009; Wells, 2009). Jadi, kemungkinan penyebab ketidakbahagiaan
kita adalah pikiran tentang pikiran sama besarnya dengan pikiran tentang
kejadian eksternal.
Terapi metakognitif sering menyebut sindrom atensi kognitif (cognitive
attentional syndrome; CAS), sebuah istilah yang mendeskripsikan sebuah gaya
berpikir yang murung, banyak merenung, dan problematik yang dapat mendasari
banyak masalah psikologis. CAS termasuk dua tipe pikiran spesifik tentang
kekhawatiran, positif maupun negatif – dan kedua-duanya menimbulkan masalah.
Keyakinan positif tentang kekhawatiran mungkin saja berbunyi seperti ini,
“Khawatir akan membantuku memepersiapkan diri untuk masa depan. Kalau aku tidak
khawatir, aku bisa dibutakan oleh sesuatu. Hal terakhir yang ingin kulakukan
adalah berhenti khawatir”. Keyakinan negatif tentang kekhawatiran mungkin saja
berbunyi seperti ini, “Oh, tidak, aku sudah mulai khawatir. Begitu mulai, aku
tidak pernah bisa menghentikannya. Ini akan menjadi hari yang buruk.
Kekhawatiran ini betul-betul tak terkendali”. Apapun peristiwa eksternal
awalnya pikiran kliententang kejadianitu dapat memupuk dengan cepat, sedemikian
rupa sehingga bukan hanya pikiran-pikiran tentang kejadian tersebut, tetapi pikiran
tentang pikiran mengenai kejadian tersebut bisa menjadi pemicu kecemasan
yang paling relevan. Oleh sebab itu, terapis metakognitif menjadikan
pikiran-tentang-pikiran sebagai fokus utama intervensi mereka.
Terapi metakognitif telah diterapkan terutama
pada gangguan kecemasan, termasuk gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stress
pascatrauma, dan gangguan kecemasan tergeneralisasi. Meskipun merupakan
penanganan yang relative baru, bukti-bukti untuk efektivitasnya untuk
gangguan-gangguan ini telah mulai tampak (Clark & Beck, 2010; Fisher &
Wells, 2008; Wells & King, 2006).
4.
Terapi Kognitif untuk
Masalah Medis
Hubungan antara pikiran dan tubuh dapat sangat
mempengaruhi bagaimana individu menangani masalah medis. Yang paling menarik bagi terapis kognitif
adalah keyakinan-keyakinan yang dipegang oleh pasien medis tentang penyakit,
cedera atau kondisi mereka.
Dalam beberapa dekade
terakhir, banyak studi telah menunjukkan bahwa terapi kognitif dapat memiliki
efek yang menguntungkan secara signifikan pada proses penyembuhan dan pada
akhirnya prognosis pasien medis. Sebagai contoh, Jakes, Hallam,
McKenna dan Hinchcliffe (1992) menelaah efek terapi kognitif pada pasien-pasien
tinnitus, sebuah masalah pendengaran yang melibatkan persepsi suara-suara yang
berlebihan. Sebagian pasien ini menjalani bentuk terapi kognitif singkatyang
mengoreksi keyakinan tidak logis mereka tentang penyakit tersebut. Dibandingkan
dengan pasien yang tidak mendapat bagian terapi kognitif ini, mereka yang
menerimanya memperlihatkan kemajuan dalam tingkat penderitaan mereka terhadap
tinnitus.
2.9
Kelebihan dan Kekurangan
CBT
Kelebihnnya yaitu :
·
Dapat mengukur kemampuan interpersonal dan kemampuan sosial seseorang
·
Membangun
keterampilan sosial seseorang
·
Keterampilan
komunikasi atau bersosialisasi
·
Pelatihan
ketegasan
·
Keterampilan
meningkatkan hubungan
·
Pelatihan resolusi
konflik dan manajemenagresi,
·
Tidak
berfokus pada satu sisi saja ( tidak hanya perilaku) tetapi juga dalam kognitif
seseorang
Sedangkan kekurangannya yaitu :
- Hanya mengukur dan mengatahui kondisi pada saat
itu, selain itu membutuhan waktu yang relatif lama.
Link ppt:
https://www.scribd.com/presentation/348416042/Psi-Klinis-Intervensi-CBT