Saat subuh biru
Menelisik dalam haru
Berisik menderu
Tiada sedikit cahaya
Saat mentari membara
Membakar diri bersama rasa
Merah padam penuh gelora
Dan kau, sembunyikan diri dalam pena
Torehkan rasa demi rasa
Melukiskan emosi dari sukma
Enyahkan diri dari maya
Tumbuhkan rasa diatas nyata
Musnahlah sudah seluruh imaji
Punah, dan mati
Pangkas mimpi dan kuasai diri
Bersama senja
Metamorfosa
Kamis, 20 April 2017
Kamis, 06 April 2017
Terapi Client Centered
BAB I
Pendahuluan
1.
1
Latar Belakang
Setiap manusia tentu mengalami banyak sekali konflik
selama menjalani kehidupannya. Baik tua maupun muda, laki-laki maupun
perempuan, juga yang masih lajang ataupun yang sudah mengarungi kehidupan
pernikahan. Dalam menghadapi konfliknya, manusia bisa jadi mampu menyelesaikannya
sendiri ada pula yang memerlukan bantuan. Namun lebih banyak mereka yang
memerlukan bantuan orang lain untuk melihat dari sudut pandang yang lain atas
masalah yang dihadapinya.
Dalam ilmu psikologi, terdapat beberapa pendekatan
dan terapi dalam menangani beberapa kasus atau masalah yang dihadapi seorang
klien. Pendekatan psikoanalisis adalah salah satu dari beberapa pendekatan
tersebut. Sigmund Freud merupakan tokoh utama aliran tersebut.
Pandangan Freudian tentang sifat manusia pada dasarnya
pesimistik, deterministik, mekanistik, dan reduksionistik. Menurut Freud,
manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak
sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naluriah, dan
oleh peristiwa-peristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama
dari kehidupan. (Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi,
h.15)
Namun dalam prakteknya, tidak sepenuhnya pandangan
Freudian tersebut berlaku. Pendekatan Psikoanalisis yang dipraktekkan sesuai
dengan pandangan Freud juga mengalami keterbatasan. Mengapa demikian? Karena Freud
beranggapan bahwa sifat manusia cenderung lebih pada hal-hal yang bersifat
negatif. Namun, ada pula beberapa tokoh lain yang mengembangkan beberapa
gagasannya dan menjadikan pendekatan psikologis yang dapat membantu manusia
menyelesaikan konflik dalam hidup. Salah satu dari mereka adalah Carl R.
Rogers.
Gerald Corey (Teori dan Praktek Konseling dan
Psikoterapi, h. 91) menjelaskan bahwa Carl R. Rogers mengembangkan terapi
client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebut
keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya,
pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang
menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan
fenomenalnya.
Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang
besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya
sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator
bagi perubahan; klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk
meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa
digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya. (Gerald Corey, Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, h.91)
1.
2
Rumusan Masalah
a) Apa landasan teoritis berkembangnya terapi client-centered?
b) Siapa tokoh pencetus terapi client-centered?
c) Apa tujuan terapi client-centered?
d) Bagaimana fungsi dan peran terapis?
e) Bagaimana teknik dan prosedur berjalannya terapi
client-centered?
f) Bagaimana penerapan terapi client-centered pada sebuah kasus
yang nyata?
1. 3
Tujuan Penulisan Makalah
a)
Untuk mengeahui landasan
teoritis berkembangnya terapi client-centered.
b)
Untuk lebih mengenal tokoh
pencetus terapi client-centered.
c)
Untuk mengetahui tujuan
terapi client-centered.
d)
Untuk mengetahui fungsi dan
peran terapis.
e)
Untuk mengetahui teknik dan
prosedur terapi client-centered.
f)
Untuk mengetahui penerapan
terapi client-centered pada sebuah kasus yang nyata.
BAB II
Pembahasan
2.1
Landasan Teoritis
Berkembangnya Terapi Client-Centered
Terapi client-centered ini
dikembangkan oleh seorang tokoh aliran humanistik bernama Carl R. Rogers
sebagai respon dari keterbatasan-keterbatasan dasar dari terapi psikoanalisis. Pada
awal perkembangannya Carl Rogers menamakan non-directive counseling sebagai
reaksi kontra terhadap teori psikoanalisis yang bersifat direktif tradisional.
Karena luasnya area aplikasi dan pengaruh teori ini terutama pada isu – isu
kekuasaan dan politik, yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan, memiliki,
membagi atau menyerahkan kekuasan dan control atas orang lain dan atas dirinya,
makateori ini lebih dikenal sebagai teori yang berpusat pada manusia atau klien
(Client-Centered).
2.2
Tokoh Pencetus Terapi Client-Centered
Carl Rogers lahir pada tanggal
8 Januari 1902 di Oak Park, Illionis, sebuah daerah pinggiran Chicago. Ayahnya, Walter A. Rogers,
seorang pekerja teknik sipil dan ibunya, Julia M. Cushing,
seorang ibu rumah tangga dan seorang Kristen Pentakostal yang setia. Carl
adalah anak keempat dari enam bersaudara. Carl
Rogers adalah seorang psikolog yang terkenal
dengan pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered). Masuk psikologi
klinis di Columbia University dan menerima gelar Ph.D thn 1931. Tahun
1942, dia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy. Pada thn 1945
dia di undang untk mendirikan pusat konseling di Universitas of Chicago. Tahun
1946-1957 menjadi Presiden the American Psychological Association. Beliau meninggal pada
tanggal 4 Februari 1987 di San Diego, California, Amerika Serikat.
2.3
Tujuan Terapi
Client-Centered
Tujuan dasar terapi client-centered adalah
menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang
pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis
perlu mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada dibalik topeng
yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng sebagai
pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan klien menghambatnya untuk
tampil utuh di hadapan orang lain dan dalam usahanya menipu orang lain, ia
menjadai asing terhadap dirinya sendiri. (Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling
dan Psikoterapi, h. 94)
Rogers (1961) dalam Corey (2009) menguraikan ciri-ciri
orang yang bergerak ke arah menjadi teraktualkan sebagai berikut: (1) keterbukaan
pada pengalaman, (2) kepercayaan terhadap organisme sendiri, (3) tempat
evaluasi internal, dan (4) kesediaan untuk menjadi suatu proses. Ciri-ciri
tersebut merupakan tujuan-tujuan dasar terapi client-centered.
1) Keterbukaan pada Pengalaman
Keterbukaan pada pengalaman perlu memandang kenyataan tanpa mengubah
bentuknyasupaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai
lawan kebertahanan, keterbukaan dan pengalaman menyiratkan menjadilebih sadar
terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.
2) Kepercayaan terhadap Organisme Sendiri
Saalah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa
percaya terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap permulaan terapi,
kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri
sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar
karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk
mengarahkan hidupnya sendiri.dengan meningkatnya keterbukaan klien pada
pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan klien kepada dirinya sendiri pun
mulai timbul.
3) Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti
lenih banyak mencari jawaban-jawaban dari diri sendiri bagi masalah-masalah
keberadaanya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirnya daripada
mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan
dari orang lain dengan persetujuan dari diri sendiri. Dia menetapkan
standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat
putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4) Kesediaan untuk Menjadi Suatu Proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian yang merupakan lawan dari
konsep diri tentang produk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi menjalani
terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dan
berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu
proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses
pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi
pengalaman-pengalaman baru dari revisi-revisi alih-alih menjadi wujud yang
membeku.
2.4
Fungsi dan Peran Terapis
Peran terapis client-centered berakar pada cara-cara
keberadaanya dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang
dirancang untuk menjadikan klien “berbuat sesuatu”. Penelitian tentang terapi
client-centered tampaknya menunjukkan bahwa yang menuntut perubahan kepribadien
klien adalah sikap-sikap terapis alih-alih pengetahuan, teori-teori atau
teknik-teknik yang digunakannya.pada dasarnya terapis menggunakan dirinya
sendiri sebagai alat untuk mengubah. Dengan menghadapi klien pada taraf pribadi
ke pribadi, maka “peran” terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis
adalah mengubah suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan klien.
Jadi, terapis
client-centered membangun hubungan yang membantu dimana klien akan mengalami
kebebasan yang diperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang
diingkari atau didistorsinya. Klien menjadi kurang defensif dan menjadi lebih
terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam dirinya maupun dalam
dunia.
Yang pertama dan terutama, terapis harus bersedia
menjadi nyata dalam hubungan dengan klien. Terapis menghadapi klien
berlandaskan pengalaman dari saat ke saat dan membantu klien dengan jalan
memasuki dunianya alih-alih menurut kategori-kategori diagnostik yang telah
dipersiapkan. Melalui perhatian yang tulus, respek, penerimaan, dan pengertian
terapis, klien bisa menghilangkan pertahanan-pertahanan dan
persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi pribadi yang
lebih tinggi.
2.5 Teknik dan Prosedur Terapi Client Centered
Corey (1995) mengatakan bahwa
konselor harus memperlihatkan berbagai keterampilan interpersoanal yang
dibutuhkan dalam proses konseling. Keterampilan – keterampilan tersebut antara
lain :
1.
Mendengar
Aktif
2.
Mengulang
kembali (Restating/Paraphrasing)
3.
Memperjelas
(Clarifyng)
4.
Menyimpulkan
(Summarizing)
5.
Bertanya
(Questioning)
6.
Menginterpretasi
(Interpreting)
7.
Mengkonfrontasi
(Confronting)
8.
Merefleksikan
Perasaan (Reflecting Feeling)
9.
Memberikan
dukungan (Supporting)
10.
Berempati
(Empathizing)
11.
Menfasilitasi
(Fcilitating)
12.
Memulai
(Initiating)
13.
Menentukan
Tujuan (Setting Goals)
14.
Mengevaluasi
(Evaluating)
15.
Memberikan
umpan balik (giving feedback)
16.
Menjaga
(protecting)
17.
Mendekatkan
diri (Disclosing Self)
18.
Mencontoh
Model (Modeling)
19.
Mengakhiri
(Terminating)
2.6
Contoh Penerapan Terapi pada
Kasus yang Nyata
Filsafat yang mendasari teori client-centered
memiliki penerapan langsung pada proses belajar mengajar. Perhatian Rogers pada
sifat prose belajar yang dilibatkan di dalam konseling juga telah beralih pada
perhatian terhadap apa yang terjadi dalam pendidikan. Dalam buku yang berjudul
Freedom to Learn (1969), Rogers mengupas soal-soal yang mendasar bagi
pendidikan humanistic dan mengajukan suatu filsafat bagi kegiatan belajar yang
terpusat pada siswa. Pada dasarnya, filsafat pendidikan yang diajukanoleh
Rogers sama dengan pandangannya tentang konseling dan terapi, yakni ia yakin
bahwa siswa bisa dipercaya untuk menemukan masalah-masalah yang penting, yang
berkaitan dengan keberadaan dirinya. Para siswa bisa menjadi terlibat dalam
kegiatan belajar yang bermakna, yang bisa timbul dalam bentuknya yang terbaik
jika guru menciptakan iklim kebebeasan dan kepercayaan. Fungsi guru sama dengan
fungsi yang dijalankan oleh terapis
client-centered, yaitu: kesejatian, keterbukaan, ketulusan, penerimaan,
pengertian, empati, dan kesediaan untuk membiarkan para siswamengeksplorasi
material yang bermakna menciptakan atmosfer dimana kegiatan belajar yang
signifikan bisa berjalan. Rogers menganjurkan pembaharuan pendidikan dan
menyatakan bahwa jika ada satu saja diantara seratus orang guru mengajar di
ruangan-ruangan kelas yang terpusat pada siswa dimana para siswa diizinkan
untuk bebas menekuni persoala-persoalan yang relevan, maka pendidikan di
Amerika Serikat niscaya mengalami revolusi.
Dalam buku yarlg berjudul Teachers Can Make a
Difference (1973), penulis memeriksa pesan-pesan utama yang disampaikan kepada
para siswa dalam kerangka pendidikan tradisisonal. Singkatnya, pesan-pesan ang
demikian sering disampaikan di ruangan kelas konvensional yang hampir secara
eksklusif terfokus pada isi dan kurikulum adalah sebagai berikut:
Langganan:
Postingan (Atom)